TEMPO.CO, Jakarta - Kebiri kimia saat ini sedang hangat dibicarakan masyarakat. Salah satunya karena keputusan Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto yang sedang mencari rumah sakit untuk melakukan pidana kebiri kimia pada terpidana pemerkosa anak.
Dalam putusan pengadilan tingkat pertama dan banding, pelaku, M. Aris, 20 tahun, dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan pidana kurungan setelah terbukti memerkosa sembilan anak di Mojokerto. Hakim juga menjatuhi pidana tambahan berupa kebiri kimia.
Baca Juga:
Staf Khusus Menteri Kesehatan Akmal Taher pun memberikan tanggapan terkait hal ini. Menurutnya, pemerintah memang harus menjalankan undang-undang yang berlaku. Meski demikian, perundingan akan hukuman kebiri kimia diharapkan bisa kembali didiskusikan.
“Kalau itu sudah diputuskan undang-undang mestinya dijalankan. Tapi saya kira kita harus duduk sama-sama untuk mencari jalan keluarnya,” katanya di Jakarta pada Senin, 26 Agustus 2019
Terkait dengan efek kebiri kimia, ia mengatakan bahwa memasukkan zat kimia anti-androgen ke tubuh seseorang memang akan mengurangi hormon testosteron sehingga berpengaruh pada dorongan seksual. Namun, Akmal juga menyebutkan bahwa efek yang diberikan dari kebiri kimia hanya akan bertahan sementara.
“Yang disuntik itu sebenarnya masih bisa balik, tidak hilang semuanya. Itulah kenapa diskusi lebih lanjut harus dilakukan,” katanya.
Meski begitu, apabila dihadapkan dengan dua pilihan kebiri, ia tetap memilih kimia dibandingkan fisik. “Saya tidak setuju jika pakai kebiri fisik yang testisnya dibuang agar sama sekali tidak punya. Tapi kembali lagi, walaupun berdasarkan hasil penelitian kebiri kimia bisa mengurangi agresivitas, sebaiknya kita masih harus melakukan perundingan,” ujarnya.