TEMPO.CO, Jakarta - Stunting atau perawakan pendek pada anak akibat malnutrisi kronis masih menjadi tantangan di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) menunjukkan, prevalensi balita stunting di 2018 mencapai 30,8 persen. Artinya 1 dari 3 balita mengalami stunting. Terlebih, Indonesia juga merupakan negara dengan beban anak stunting tertinggi ke-2 di Kawasan Asia Tenggara dan ke-5 di dunia.
Pakar nutirisi Prof. Dr. dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A(K)., mengingatkan pentingnya mengonsumsi protein hewani untuk mencegah atau menurunkan pravelansi stunting pada anak-anak balita.
Baca Juga:
"Pada tahap pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI), orang tua harus memperhatikan pola asupan gizi yang seimbang, terutama untuk memberikan asupan karbohidrat, lemak tinggi, dan protein hewani," kata konsultan nutrisi dan penyakit metabolik anak RSCM ini.
Ilustrasi anak mengukur tinggi badan. answcdn.com
Damayanti mengingatkan soal pencegahan stunting ini ketika menjadi pembicara seminar Gizi Untuk Bangsa (GUB) bertemakan “Kontribusi dan Keterlibatan Stakeholders dalam Penurunan Stunting”yang diselenggarakan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jumat, 20 September 2019. Menurutnya, stunting hanya bisa teratasi selama periode 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) atau dari masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun dan masa di mana otak anak berkembang pesat.
"ASI eksklusif penting diberikan selama 6 bulan pertama dan dapat diteruskan hingga anak berusia 2 tahun," ujarnya.
Damayanti mengatakan bekerjasama dengan Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi telah mengembangkan proyek contoh aksi cegah stunting di Desa Banyumundu, Kabupaten Pandeglang, Banten. Hasil inisiatif tersebut menunjukkan penurunan prevalensi stunting sebesar 8,4 persen dalam 6 bulan dari 41,5 persen menjadi 33,1 persen atau mencapai 4,3 kali lipat dari target tahunan WHO.