TEMPO.CO, Jakarta - Demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang berlangsung sejak Senin 23 September 2019 masih hangat diperbincangkan publik. Tidak hanya tujuan demonstrasi atas ketidaksetujuan sejumlah Rancangan Undang Undang saja yang didiskusikan masyarakat, namun juga poster-poster yang dibawa oleh para demonstran.
Berbeda dengan poster demonstrasi mahasiswa yang dilakukan pada tahun 1998, poster unjuk anak zaman now justru diwarnai dengan banyak ungkapan nyeleneh dan mengocok perut. Bila Anda melihat di dunia maya berbagai poster demonstran pada 1998, Anda akan menemukan tulisan seperti 'Tangkap dan Adili Soeharto dan Kroni Sekarang Juga'. Anda juga mungkin akan melihat poster dengan tulisan dengan huruf kapital 'Turunkan Harga, Gulingkan Soeharto. Nasionalisasi Aset Soeharto!'. Poster dan spanduk itu tentunya menjadi suara yang ingin disampaikan para mahasiswa yang ikut dalam reformasi 1998.
Nah, poster - poster dengan nada tegas yang berseru kepada pemerintah pun tetap Anda lihat pada demonstrasi kali ini. Bedanya, pada demonstrasi zaman now, Anda pun akan mendapati tulisan poster nyeleneh yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan keamanan negara atau keadilan hukum.
Pendemo mengangkat poster bernada lucu saat ribuan mahasiswa dari berbagai Kampus di Jabodetabek melakukan aksi demo di depan gedung DPR RI, Jakarta, Selasa, 24 September 2019. Di antara sejumlah poster berisi tuntutan rakyat terselip pesan bernada humor. TEMPO/Bernetta Nindya
Di media sosial Anda akan menemukan poster-poster yang mengocok perut dengan tulisan 'Cukup Cintaku yang Padam, KPK Jangan!'. Anda pun akan melihat seruan seperti 'Pak, Skincareku Mahal dipakai Panas-Panasan. Tapi Gapapa, Soalnya NKRI lebih Mahal Harganya!'.
Kira-kira apa yang mempengaruhi anak zaman now 'menegur' para pejabat negara dengan tulisan yang menyindir itu?
Psikolog Friska Asta menjelaskan dua alasan utamanya. Pertama, menurut Friska, situasi negara pada kedua zaman tersebut sangat berbeda. Pada era pemerintahan Soeharto, Friska mengatakan bahwa komunikasi sangat dibatasi dan diatur.
Akibatnya, gaya demonstrasi pun juga terbilang lebih resmi. “Di tahun 1998, saya cari di Google tulisan posternya tidak neko-neko. Paling turunkan Soeharto dan sebagainya,” katanya saat dihubungi Tempo.co pada Kamis, 26 September 2019.
Sebaliknya, pada era pemerintahan Jokowi, demokrasi telah dijunjung tinggi. Friska mengatakan bahwa hal tersebut menyebabkan cara berkomunikasi bisa dilakukan secara bebas. “Sekarang setiap orang bisa menyampaikan aspirasinya tanpa batas. Itulah kenapa gaya bahasa sekarang terlihat berbeda,” katanya.
Selain perbedaan situasi negara, Friska juga menjelaskan pengaruh media sosial yang besar. Ia mengatakan pada tahun 1998, media sosial tidak sebesar saat ini. Sehingga setiap individu tidak terkoneksi satu dengan yang lainnya. “Dulu waktu demo, mereka hampir tidak kenal satu sama lain. Jadi pandangannya satu, resmi,” katanya.
Sedangkan kini, media sosial telah merajalela. Hal ini menyebabkan koneksi dan pergerakan yang signifikan dari setiap individu. “Ketika mereka kenal dan tahu apa yang terjadi, mereka bisa meniru dan membaur. Akhirnya tercipta tulisan-tulisan itu,” katanya.