TEMPO.CO, Jakarta - Pada aksi demonstrasi mahasiswa yang berlangsung 24 September, polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan demonstran. Begitu juga saat aksi yang dilakukan siswa SMK sehari kemudian, polisi juga menggunakan gas air mata.
Spesialis mata dari Klinik Mata Nusantara, Jakarta, Dr. Rini Hersetyati SpM., mengatakan gas air mata yang biasa digunakan untuk aksi demonstrasi hanya memiliki dampak jangka pendek.
"Hanya untuk jangka pendek karena tujuannya hanya untuk membubarkan demonstran saja," ujar Rini di Jakarta, Jumat, 27 September 2019.
Seorang pengunjuk rasa berjalan melewati gas air mata saat terjadi kericuhan di kawasan Pejompongan, Jakarta, Kamis, 26 September 2019. ANTARA
Dia menjelaskan gas air mata terdiri dari berbagai senyawa, seperti chlorobenzylidenemalononitrile, chloroacetophenone, bromoacetone, phenacyl bromide, dan lainnya. Zat-zat itu membuat mata terasa terasa pedih.
"Efeknya pada selaput bening mata yang warna putih itu, berair dan panas," katanya.
Gas air mata tersebut baru memberikan efek saat terhirup. Meski demikian, efek gas air mata itu tidak lama. Untuk membantu menghilangkan efeknya, Rini menyarankan untuk mencuci mata dengan ari bersih.
"Dicuci saja matanya kalau terkena gas air mata," ucap Rini.
Meski demikian, Rini meminta para pengunjuk rasa tidak terkena gas air mata terus-menerus karena bisa menyebabkan iritasi pada mata.