TEMPO.CO, Jakarta - Film Joker telah tayang di seluruh bioskop Tanah Air pada Rabu, 2 Oktober 2019. Sayangnya, kontroversi pun muncul sebagai tanggapan dari para penggemar yang sudah menonton film garapan DC Comics tersebut.
Banyak dari mereka menganggap bahwa aksi pemeran utama Joker, Joaquin Phoenix, bisa berpotensi menciptakan dukungan atas kekerasan massal. Bahkan, mereka juga takut karena film ini terkesan menunjukkan rasa kasihan dan iba terhadap seorang penjahat.
“Di era penembakan massal, apakah benar jika Anda harus menyaksikan adegan seorang pasien penyakit mental yang akhirnya menjadi pembunuh?,” tulis salah satu pengguna Facebook.
Menanggapi hal ini, seorang ahli saraf kognitif Bobby Azarian pun mengatakan bahwa film Joker memang menunjukkan cerita yang demikian. Namun, pesan yang ingin disampaikan dari penggarap film ada dalam sudut pandang yang berbeda. Menurut Bobby, film Joker justru memiliki banyak nilai positif.
Contohnya, dengan menunjukkan seorang karakter yang memiliki masalah mental dan akhirnya membunuh, para penonton pun bisa lebih memahami tentang kesehatan mental. Di cuplikan dua trailer awal, Joker dikisahkan sebagai sosok orang yang sangat baik dan setia merawat ibunya yang sakit.
Namun, ia menjadi jahat saat mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari orang sekitar. “Dia mengalami perundungan, dipukuli dan dihina oleh banyak orang. Hal ini membuat kita belajar tentang pengaruh faktor sosial pada psikologis seseorang sehingga membuatnya menjadi rentan secara mental,” katanya.
Bagaimana pandangan Anda tentang film Joker?
SARAH ERVINA DARA SIYAHAILATUA | PSYCHOLOGYTODAY