TEMPO.CO, Jakarta - Isu kesehatan jiwa masih kurang menjadi perhatian di daerah-daerah. Padahal masalah itu menjadi tren karena mengalami peningkatan. Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono.
"Kalau saya boleh jujur, anggaran di kabupaten dan kota untuk kesehatan jiwa itu hampir tidak ada karena strukturnya tidak ada meski kita punya UU Kesehatan Jiwa," katanya ketika ditemui usai temu media terkait peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2019 di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Senin 7 Oktober 2019.
Menurut dia, selain upaya rehabilitasi diperlukan juga aksi preventif untuk melakukan deteksi dini masalah kesehatan jiwa. Upaya daerah biasanya menggunakan payung besar Tim Pembina Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM).
Tim lintas sektor itu, kata dia, biasanya dipimpin dari sekretariat daerah (Setda) tapi anggarannya masih dalam kategori umum, belum spesifik untuk upaya preventif dan promotif masalah kesehatan jiwa. "Padahal permasalahan kesehatan jiwa seharusnya sudah dilakukan dari tingkat dasar," katanya dan menambahkan bahwa selain permasalahan anggaran kekurangan dokter spesialis kesehatan jiwa juga menjadi sorotan.
Oleh karena itu, katanya, muncul wacana untuk melatih dan membekali dokter umum dan tenaga ahli untuk melakukan upaya preventif dasar masalah kejiwaan untuk tingkat akar rumput seperti di puskemas.
"Dalam layanan pencegahan, teman-teman dokter spesialis kesehatan jiwa yang jumlahnya masih terbatas memberikan kewenangan kepada dokter umum melalui pengembangan pendidikan yang kemudian disertifikasi oleh mereka untuk memberikan layanan kesehatan jiwa," katanya.
Ia mengemukakan bahwa masalah kesehatan jiwa kini sudah menjadi salah satu program prioritas Kementerian Kesehatan dan sudah dimasukkan sebagai indikator keluarga sehat oleh pemerintah. Salah satu alasannya adalah tren kenaikan masalah kejiwaan di mana prevelalensi gangguan mental emosional pada penduduk di atas 15 tahun mencapai 9,8 persen atau naik dari 6 persen pada 2013 sesuai data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) pada 2010, angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6 - 1,8 persen per 100.000 penduduk atau sekitar 5.000 orang per tahun.