TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto diserang Syahril Alamsyah alias Abu Rara, yang diduga seorang anggota kelompok jaringan terorisme Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi. Penusukan Wiranto terjadi saat berkunjung ke Pandeglang, Banten pada Kamis, 10 Oktober 2019. Wiranto pun terkena luka di bagian perut dan kini dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Jakarta Pusat.
Saat kejadian berlangsung, Wiranto ingin menyapa warga dan anak-anak di sekitar lokasi saat hendak kembali ke Jakarta setelah berkunjung ke Pondok Pesantren Mathla'ul Anwar, Labuan, Banten.
Kapolda Banten Irjen Tomsi Tohir mengatakan bahwa Wiranto hendak mengabulkan kemauan untuk foto bersama khususnya anak-anak. “Ada anak sekolah cukup banyak sambil memegang kamera HP. Mereka ingin bersalaman atau berfoto,” katanya.
Alih-alih bersalaman dan berfoto, anak-anak justru melihat kejadian naas yang menimpa Wiranto. Terkait hal ini, situs The Conversation menyebutkan bahwa kejadian kekerasan dan kejahatan yang disaksikan oleh anak-anak bisa berpengaruh pada kesehatan mental dan psikis mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh Western Reserve University, Ohio, Amerika Serikat pada tahun 2016 menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi saksi maupun korban telah mengalami tingkat tertinggi depresi, kemarahan dan kecemasan. Bahkan, 30 persen dari anak-anak di kelas tiga hingga delapan yang menyaksikan seseorang dipukul, ditampar, atau ditinju harus mendapatkan perawatan untuk tingkat kecemasan yang diderita.
Baca Juga:
Dampak jangka panjang juga bisa dialami anak-anak. Pemimpin penelitian, Daniel J. Flannery mengatakan bahwa anak-anak menjadi peka terhadap kekerasan. Mereka bahkan percaya bahwa kekerasan adalah cara yang bisa diterima untuk menyelesaikan masalah dan tanpa konsekuensi. “Anak-anak juga yakin bahwa kekerasan dapat terjadi di mana saja, bagi siapa saja dan kapan saja,” katanya.
Selanjutnya, anak-anak tersebut juga berisiko melakukan kekerasan serupa terhadap orang lain. Flannery menunjukkan bahwa anak-anak yang menyaksikan atau menjadi korban kekerasan lebih agresif terhadap orang lain. Anak-anak ini juga menunjukkan tingkat gejala stres pasca-trauma yang tinggi. “Remaja yang terpapar dengan tingkat kekerasan yang tinggi akan mengalami tingkat kemarahan dan depresi yang lebih tinggi. Kami juga menemukan bahwa tingkat keinginan untuk melukai atau membunuh diri sendiri lebih tinggi,” katanya.
Flannery lantas berpesan agar orang tua bisa lebih hati-hati dengan sikap dirinya dan orang sekitar terkait kekerasan. “Berikan mereka pengertian dan kalau bisa dihindari, sebaiknya menjauh karena semua dampak yang membahayakan bagi kesehatan mental anak,” katanya.
SARAH ERVINA DARA SIYAHAILATUA | ANDITA RAHMA | THECONVERSATION