TEMPO.CO, Jakarta - Baru-baru ini media sosial di Indonesia dihebohkan dengan adanya komunitas crosshijaber, yakni para pria yang senang berpenampilan layaknya perempuan dengan mengenakan hijab bergaya syar'i lengkap dengan cadar.
Mereka bahkan memiliki komunitas di sejumlah media sosial, seperti Facebook dan Instagram, seolah ingin mengukuhkan keberadaan dengan membuat tagar crosshijaber, meski kini banyak unggahan yang dihapus.
Psikolog klinis yang praktik di Rumah Sakit Fatmawati, Widya Shintia Sari, M.Psi mengatakan munculnya fenomena crosshijaber dapat mengarah pada gangguan psikologis. Namun, untuk memastikannya perlu pemeriksaan.
"Pelaku memang mengalami ketidaknyamanan atas identitas seksualnya, dan lebih feel comfort kalau mengadopsi ciri gender yang berlawanan," kata Widya.
Menurut Widya, ada sejumlah faktor psikologis yang bisa berpotensi menyebabkan munculnya crosshijaber yakni masa lalu yang traumatis. Pelaku juga bisa menjadi crosshijaber karena memiliki pengalaman akibat ketidakseimbangan peran gender yang membuat pelaku tidak nyaman mengadopsi karakteristik gender yang sejalan dengan jenis kelaminnya.
Widya juga mengatakan perlu diperiksa jika pelaku crosshijaber memiliki riwayat diagnosis gangguan psikologis terdahulu.