TEMPO.CO, Jakarta - Cerita Layangan Putus sempat menjadi perhatian para netizen. Kisah ini pertama kali dipublikasikan oleh sebuah akun Facebook bernama Mommi ASF. Secara garis besar, cerita Layangan Putus ini berisi tentang kisah hidupnya yang ibarat layangan putus setelah berpisah dengan suami.
Dalam tulisan itu, ia menjelaskan bahwa dirinya sejak SMA memang senang untuk menulis. Saat mengalami berbagai masalah rumah tangga dan kehidupan ia mengaku keluar dari berbagai akun media sosial dia. "Marah, benci, sedih membuatku anti sosial. Ku kambinghitamkan rasa hancurku pada sosial media. Membuka nya membuatku berduka. Tentu murka ku tak berdampak apa apa pada jejaring sosial yang kutinggalkan," kata penulis yang sempat tidak melanjutkan hobinya menulis saat marah.
Pada suatu hari, ia pun dipertemukan dengan sahabt literasi. "Allah Sang Maha Baik, mempertemukan aku dengan sahabat literasi. Seorang ibu yang menyarankanku untuk kembali menulis. Melampiaskan isi hati dan suka duka melalui aksara. 'Writing is healing,' sarannya."
Penulis Layangan Putus itu pun akhirnya kembali menulis. "Cukup mengobati luka. Semoga, goresan tinta berikutnya mampu memberi energi positif bagi ku dan mengembalikan ketenangan. Jujur, ini bagai dendam yang tertunaikan," tulisanya.
Melansir dari situs Positive Psychology, menulis memang memiliki salah satu manfaat sebagai metode pemulihan. Menurut Pusat Medis Universitas Rochester, ketika Anda memiliki masalah dan sedang stres, menulis dapat membantu mengidentifikasi penyebab stres atau kecemasan itu.
Pada gilirannya, ini pun bisa menyelesaikan masalah. “Karena setelah menulis, Anda bisa mengidentifikasi rasa stres sehingga dapat bekerja dan berencana untuk menyelesaikan masalah dan mengurangi stres itu,” kata kepala Pusat Medis Universitas Rochester L Renee Watson.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Harvard Medical School pula, ada beberapa temuan yang mengungkapkan bagaimana menulis dapat membantu stres. Salah satunya bisa dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh pemimpin departemen psikologi di University of Texas, James W. Pennebaker.
Kala itu, ia meminta 46 mahasiswa yang sehat untuk menulis tentang peristiwa yang traumatis dalam hidup atau topik pribadi lainnya selama 15 menit dalam empat hari berturut-turut. “Enam bulan setelah percobaan, mereka yang menulis tentang peristiwa traumatis menjadi jarang bahkan tidak lagi mengunjungi pusat kesehatan untuk berobat,” katanya.
SARAH ERVINA DARA SIYAHAILATUA | FACEBOOK | POSITIVEPSYCHOLOGY