TEMPO.CO, Jakarta - Kanker limfoma hodgkin adalah masalah kesehatan yang menyerang kelenjar getah bening di leher dan kepala. Menurut data Globocan 2018, sebanyak 79.990 orang di dunia mengalami penyakit ini.
Di Indonesia, sebanyak 1.047 orang mengalaminya. Bahkan, setengah pasien kanker limfoma hodgkin itu juga diketahui meninggal dunia pada tahun yang sama.
Untuk mematikan sel kanker limfoma hodgkin, berbagai cara bisa dilakukan. Salah satu yang sering dilakukan dokter adalah kemoterapi, yakni pasien diberi obat guna membunuh sel-sel yang bertumbuh cepat. Sayangnya, cara ini bisa menimbulkan banyak efek samping yang tidak diinginkan, misalnya saja kebotakan, mual, hingga anemia.
Sebagai alternatif pengobatan kanker limfoma hodgkin, Ketua Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) dan Persatuan Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam Indonesia (PERHOMPEDIN), Tubagus Djumhana Atmakusuma, pun menjelaskan tentang Antibody Drug Conjugate (ADC).
Djumhana mengatakan bahwa ADC adalah inovasi pengobatan nontransplantasi yang dikategorikan sebagai terapi bertarget. Itu berbeda dengan kemoterapi karena mampu mengenali sel limfoma hodgkin melalui ikatan antara antibodi monoklonal anti-CD30 dengan CD30 yang berada di permukaan sel limfoma hodgkin.
Obat yang diberikan dalam terapi ADC adalah Brentuximab Vedotin (BV). Ini adalah obat pintar yang mengkombinasi antibodi dan zat sitotoksik.
“BV bekerja dengan cara berikatan dengan CD30 di permukaan sel limfoma hodgkin untuk selanjutnya masuk ke dalam sel dan melakukan penghentian siklus kehidupan sel sehingga terjadi apoptosis sel (kematian sel),” katanya dalam acara konferensi pers di Jakarta pada Rabu, 13 November 2019.
Dengan demikian, obat BV dari terapi ADC pun bisa mengendalikan dan menghancurkan hanya sel limfoma hodgkin dan bukan sel lain sehingga efek samping yang ditimbulkan relatif lebih ringan dibandingkan kemoterapi.
“Kerontokan rambut, pusing, mual, muntah, anemia, pendarahan, seluruhnya sangat minim dialami pasien kanker limfoma hodgkin,” jelasnya.
Dari segi harga, Djumhana mengatakan bahwa terapi ADC dengan obat BV masih tergolong mahal, yakni sekitar 60 juta rupiah. Ia pun berharap agar terapi ADC ini bisa masuk BPJS.
Ralat: Dilakukan perubahan ini pada paragraf terakhir pada Senin, 18 November 2019, pukul 11.30 WIB, untuk perbaikan akurasi. Terima kasih