TEMPO.CO, Jakarta - Dokter spesialis pulmonologi, Sita Andarini, menyatakan pengobatan durvalumab di Indonesia sudah berjalan sejak awal tahun ini. Pengobatan durvalimab adalah pengobatan yang melakukan kemoterapi, radioterapi dan imunoterapi sekaligus. Menurut Sita, menambah pengobatan imunoterapi alias terapi imun ini dapat memperpanjang masa hidup penderita kanker paru-paru stadium lanjut daripada mereka yang hanya melakukan pengobatan radioterapi dan kemoterapi saja.
Sita menjelaskan, hidup penderita kanker paru yang menjalani terapi imun diperkirakan mencapai 3,5 tahun setelah pengobatan. Sementara penderita yang hanya diobati dengan kemoterapi dan radioterapi diperediksikan bertahan hidup selama 2,4 tahun. “Imunoterapinya dilakukan berturut-turut ternyata angka kekambuhan (kanker paru) penderita lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak diberikan imunoterapi,” kata Sita di sela kongres European Society for Medical Oncology (ESMO) di Suntec City, Singapura, Sabtu, 23 November 2019.
Pengobatan durvalumab datang dari hasil studi Pacific untuk mengobati kanker paru bersel tidak kecil atau dinamakan non-small cell lung cancer (NSCLC). Pengobatan ini fokus pada kanker paru stadium III dan IV yang tak dapat diobati dengan operasi.
Sita memaparkan, kanker paru stadium III dan IV tergolong locally advanced cancer. Maksudnya adalah sel kanker telah menyebar ke kelenjar atau menempel di infiltrasi sehingga masuk ke pembuluh darah. Bahkan, pada stadium IV, sel kanker dapat menyebar ke saraf terdekat atau menutupi jantung.
Penderita kanker paru stadium III dan IV umumnya menjalani pengobatan kemoterapi dan radioterapi. Kini, Sita menuturkan, dunia medis telah menemukan cara baru yang disebut dapat memperpanjang masa hidup penderita. Namanya pengobatan durvalumab, yaitu kombinasi kemoterapi, radioterapi, serta imunoterapi.
Menurut Sita, beberapa pasien Indonesia telah mengikuti program spesial akses durvalumab. Artinya, penggunaan durvalumab merupakan permintaan dari pasien yang bersangkutan. Pasien, lanjut dia, membutuhkan durvalumab sehingga paramedis mengajukan izin ke Kementerian Kesehatan untuk menerapkan terapi ini. Sita menambahkan izin diperlukan lantaran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI belum menerima durvalumab. Imfinzi, yang secara kimia dikenal sebagai durvalumab, termasuk dalam kelas baru obat onkologi yang disebut PD-L1 yang menghalangi mekanisme tumor yang digunakan untuk menghindari deteksi dari sistem kekebalan tubuh. "Sebelum di-approve, pasien bisa minta karena dia perlu dan di luar negeri studinya udah kelar. FDA (Food and Drug Administration) Amerika sudah approve tapi di Indonesia belum," kata dia.
Direkur Medis dan Spesialis Konsultan di Medical Oncology Singapura, Wong Seng Weng, mengatakan pengobatan durvalumab bakal menambah masa hidup penderita. Selain itu, durvalumab juga membuat masa progresif penderita kanker mencapai rata-rata 17,2 bulan.
Masa progresif alias progression-free survival merupakan rentang waktu dari penderita menjalani masa pengobatan hingga memerlukan obat lagi karena kondisi kembali terpuruk akibat kanker. Artinya, penderita perlu menjalani terapi kembali setelah sel kanker tak bekerja selama 17,2 bulan. Sementara itu, Wong melanjutkan, masa progresif penderita yang tidak dirawat dengan durvalumab alias plasebo hanya 5,6 bulan. "Tidak hanya hidup lama tapi hidup yang berkualitas. Kualitas hidup pasien akan lebih baik," kata Wong saat pemaparan di hotel Mandarin Oriental, Singapura, Jumat, 22 November 2019.
Otoritas Ilmu Kesehatan (Health Sciences Authority) Kementerian Kesehatan Singapura telah menerbitkan izin penggunaan durvalumab di negeri Singa itu pada November 2018. AstraZeneca yang meneliti pengobatan durvalumab telah mengajukan izin yang sama ke BPOM Indonesia di awal 2019.