TEMPO.CO, Jakarta - Menurut data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2018, sebanyak 643 ribu masyarakat Indonesia mengidap penyakit HIV/AIDS. Untuk mengatasi masalah ini, pasien pun disarankan untuk selalu mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV).
Sayangnya, banyak penyandang HIV yang merasa kesulitan untuk mendapatkan obat dengan alasan stok habis. Benarkah demikian? Ketua Panli HIV AIDS PIMS, Sjamsurizal, mengatakan bahwa hal tersebut tidak benar.
Sjamsurizal mengatakan bahwa obat antiretroviral telah hadir di Indonesia sejak 2005 dan berhasil menyediakan kebutuhan pengobatan bagi seluruh pasien HIV. Hal tersebut bisa dibuktikan dari kasus yang ditangani dari awal, yakni 30 ribu pasien hingga kini 150 ribu pasien.
“Angka yang meningkat menunjukan bahwa ketersediaan obat juga semakin besar untuk pasien. Seharusnya tidak sulit untuk mendapatkan ARV,” katanya dalam acara temu media di gedung Kementerian Kesehatan pada Rabu, 27 November 2019.
Namun, kendala yang dihadapi, obat antiretroviral itu awalnya diperkenalkan dalam bentuk tiga kapsul dan wajib dikonsumsi setiap hari. Sedangkan dengan perkembangan zaman dan semakin pintarnya manusia untuk menciptakan obat, antiretroviral ini pun bisa dijadikan satu kapsul sehingga meringankan konsumsi obat.
Dengan kecepatan perubahan obat, pasien HIV pun menjadi nyaman menggunakan satu kapsul obat antiretroviral. Sayangnya, kebutuhan pasar tidak didukung dengan kecepatan impor obat danmenganggapnya habis.
“Padahal masih ada obat antiretroviral tiga kapsul itu. Tapi kan yang dicari pasien satu kapsul,” katanya.
Sjamsurizal pun menegaskan bahwa kedua jenis obat antiretroviral itu memiliki kandungan dan khasiat yang sama sehingga saat dibutuhkan, salah satu dari keduanya bisa dikonsumsi tanpa harus putus berobat.
“Jadi obat ARV itu selalu ada. Hanya pasien mau kembali ke cara lama, tiga kapsul saat dibutuhkan atau tidak,” katanya.
