TEMPO.CO, Jakarta - Di Indonesia, kita dimanjakan dengan Harbolnas atau Hari Belanja Online Nasional. Sedangkan di luar negeri, mereka sudah terbiasa dengan Black Friday. Keduanya sama-sama memberikan diskon yang besar untuk berbelanja.
Jika puncak Harbolnas di Indonesia jatuh pada 12 Desember, Black Friday jatuh pada satu hari setelah perayaan Thanksgiving atau hari Jumat minggu terakhir di bulan November.
Berbeda dengan Harbolnas yang diskonnya hanya berlaku untuk pembelanjaan online, Black Friday menawarkan kedua pembelanjaan online maupun offline. Bahkan, lebih menariknya lagi, beberapa negara bagian meliburkan karyawan pada hari raya tersebut.
Lantas, bagaimana sejarah Black Friday, mengapa disebut demikian, dan ditentukan pada tanggal tersebut? Meski banyak yang mengatakan Black Friday awalnya digunakan sebagai boikot atas diskon besar untuk membeli budak kulit hitam setelah hari ucapan syukur, hal ini dibantah keras oleh sejumlah pihak karena tidak memiliki dasar yang kuat.
Dilansir dari history.com, Black Friday justru secara khusus digunakan pada tahun 1950-an oleh para polisi di kota Philadelphia sebagai istilah untuk menggambarkan kekacauan yang terjadi sehari setelah Thanksgiving. Hal ini terjadi lantaran gerombolan pembeli dan wisatawan membanjiri kota untuk berbelanja. Selain itu, mereka juga berbondong-bondong datang dan menyaksikan pertandingan bola yang selalu dilaksanakan pada Sabtu setiap tahunnya.
Di tahun 1980-an, kekacauan ini justru membawa berkah bagi para pemilik toko dan usahawan di kota. Mereka mulai menyadari bahwa sehari setelah perayaan ucapan syukur, kesempatan mereka untuk menghasilkan keuntungan besar pun tercipta. Citra Black Friday yang awalnya negatif pun mulai terkikis.
Sejak saat itu, toko-toko mulai dibuka lebih awal, khususnya pada Jumat untuk Black Friday. Menurut survei praliburan 2019 oleh National Retail Federation, diperkirakan 135,8 juta orang Amerika berencana untuk berbelanja sehari setelah Thanksgiving (58,7 persen dari mereka yang disurvei), meskipun lebih banyak lagi (183,8 juta, atau 79,6 persen) mengatakan bahwa mereka lebih memanfaatkan penawaran online yang juga ditawarkan.