TEMPO.CO, Jakarta - Di usia 25 tahun, banyak orang mungkin baru memiliki satu gelar sarjana. Namun berbeda dengan Satria Arief Prabowo yang pada usia tersebut justru berhasil memecahkan tercatat pada Museum Rekor Indonesia sebagai doktor di bidang Ilmu Kedokteran termuda di Indonesia. Lalu, apa kunci sukses untuk meraih kesuksesan di usia dini itu?
Satria mengatakan bahwa kerja keras adalah kunci utamanya. “Menurut pandangan saya, boleh jadi seseorang itu pandai, namun jika tidak mau bekerja keras, maka capaian yang diperoleh bisa jadi tidak akan lebih baik dari mereka yang tidak lebih pandai, namun mau bekerja keras,” katanya saat dihubungi Tempo.co pada Sabtu, 7 Desember 2019.
Memang dari pengalamannya, ia sangat semangat untuk mau berusaha dalam mencapai cita-cita dan etos kerja yang tinggi perlu ditanamkan sejak dini. Dari kecil, Satria mengaku gemar belajar hingga masuk ke kelas akselerasi di tingkat SMP dan SMA. Ia juga menempuh pendidikan strata satu di usia 15 tahun. “Saya memulai studi PhD ketika saya masih berusia 22 tahun dan saya berhasil menyelesaikan studi Doktoral pada usia 25 tahun,” katanya.
Dari hasil dari kerja kerasnya itu, Satria pun bisa berkeliling dunia untuk berpresentasi dalam berbagai kongres internasional yang bergengsi. Ini termasuk kongres European Society for Paediatric Infectious Diseases (ESPID) di Madrid, Spanyol, World Global Forum for Tuberculosis Vaccines di New Delhi, India hingga World Conference of the International Union against Tuberculosis and Lung Diseases (IUATLD) di Liverpool, Inggris.
Satria pun bersyukur akan semua yang telah diterimanya. “Saya telah berkeliling lebih dari 50 negara-negara di dunia. Saya pun berkesempatan untuk berinteraksi dengan banyak peneliti di berbagai institusi di dunia, baik dalam rangka presentasi hasil riset di kongres internasional, menghadiri pertemuan untuk kolaborasi riset, mengunjungi beberapa institut serta menjalin relasi dengan sejawat peneliti di Eropa dan dunia,” katanya.
Sebagai orang yang lulus gelar S3 dalam usia muda, Satria tentunya merasa senang, bangga, dan terhormat. Terlebih penghargaan dari MURI diberikan langsung oleh pendiri dan CEO Muri, Jaya Suprana di Roma, Italia pada 15 Oktober 2019 silam. Satria lantas mengatakan bahwa penghargaan ini akan menjadi pemicu semangat baginya untuk terus berkarya ke depan.
Kini, ia mengaku tengah mempersiapkan diri untuk menempuh pendidikan spesialis anak (pediatri) di Inggris. “Di saat yang bersamaan, saya juga masih melanjutkan riset saya untuk pengembangan vaksinasi terapeutik bagi penderita tuberkulosis sebagai research fellow di London, Inggris,” katanya saat dihubungi Tempo.co pada Sabtu, 7 Desember 2019.
Saat ini pula, Satria juga dipercaya menjadi tim penyusun pedoman di Organisasi Kesehatan Dunia untuk menangani tuberkulosis resisten-obat (MDR-TB) pada anak-anak dan remaja di wilayah Eropa. “Buku guideline ini telah kami publikasikan pada tahun 2019 dan dapat diakses di website WHO,” katanya.
Kedepannya, sebagai seorang dokter dan peneliti di bidang kesehatan, Satria sangat berharap jika dirinya bisa memajukan bidang inovasi dan pelayanan kesehatan di Indonesia. “Pada tahun 2050, Indonesia diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-4 di dunia sehingga saya menganggap yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen dari semua pihak untuk bersinergi dalam rangka mewujudkan visi besar tersebut,” katanya.
Satria juga bermimpi agar Indonesia nantinya dapat menjadi pusat riset penyakit tropis dan infeksi dunia. Sehingga, Tanah Air dapat mengirimkan kader terbaiknya untuk mendapatkan penghargaan hadiah Nobel. “Karena selama ini masih didominasi oleh peneliti dari negara-negara maju,” katanya.