TEMPO.CO, Jakarta - Novel coronavirus (nCov) atau virus corona yang awalnya muncul di Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019, hingga kini telah menewaskan lebih dari 300 orang. Mulai tersebar di beberapa negara di Asia dan Eropa, jumlah penderitanya juga meningkat pesat hingga lebih dari 20 ribu orang.
Atas dasar tersebut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 31 Januari 2020 telah menetapkan status baru yang melabel virus corona sebagai gawat darurat kesehatan. Tentunya, ini disambut kurang baik oleh masyarakat lantaran tak sedikit di antaranya yang panik dan takut. Terlebih, belum adanya pengobatan yang dapat mematikan virus corona.
Masyarakat pun mungkin bertanya-tanya alasan tak tersedianya vaksin untuk virus yang sedang mewabah ini. Menanggapinya, dokter spesialis paru di Rumah Sakit Persahabatan, Erlina Burhan, mengatakan bahwa virus corona tergolong baru di dunia medis.
“Dia saja tidak ada namanya. Masih novel, artinya baru. Segala sesuatu yang baru pasti belum diteliti sehingga vaksin belum ada,” katanya dalam acara Media Briefing di Jakarta pada Kamis, 6 Februari 2020.
Selain karena baru, Erlina juga mengatakan menemukan vaksin tentu tidak mudah. Dibutuhkan penelitian yang panjang untuk mengetahui metode apa yang terbaik dalam membunuh virus, entah dengan cara menggunakan strain virus yang dilemahkan atau memanfaatkan virus yang sudah mati.
“Penelitian itu tidak bisa instan langsung jadi. Ini kasusnya baru dua bulan dan pasti setiap hari pun sedang dievaluasi agar ada vaksin,” katanya.
Sambil menunggu adanya vaksin, Erlina mengimbau agar masyarakat menerapkan pola hidup sehat sebab vaksinasi sebenarnya bekerja dengan cara yang sama jika seseorang menjalankan gaya hidup sehat, yakni merangsang sistem imun.
“Dengan sistem imun yang kuat, akan sangat mudah mematikan virus. Kalau dari pola hidup, ini bisa dirangsang dengan makan bergizi, istirahat cukup, tidak stres,” katanya.