TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan status baru untuk Coronavirus disease 2019 alias COVID-19. Tepatnya pada Rabu, 11 Maret 2020 waktu setempat, Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa Covid-19 berstatus pandemi.
Hal ini diikuti dengan banyaknya korban yang terserang virus corona. “Kami melihat jumlah kasus, jumlah kematian dan jumlah negara yang terdampak semakin tinggi,” katanya seperti yang dilansir dari situs New York Times.
Namun, apa arti dari status baru tersebut? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pandemi adalah wabah yang berjangkit serempak di mana-mana atau meliputi geografi yang luas. Itu berarti, virus corona sudah diakui menyebar ke hampir seluruh negara di dunia.
Sedangkan WHO sendiri mendefinisikan pandemi sebagai situasi ketika populasi seluruh dunia memiliki kemungkinan untuk terkena infeksi ini. Bahkan, mereka juga berpotensi untuk sakit. Memang hingga kini, sebanyak 124 ribu orang di berbagai negara terjangkit corona dan harus diisolasi untuk menghindari penyebaran yang lebih luas.
Adapun status pandemi tidak hanya digunakan untuk Covid-19. Melainkan sebelumnya, sudah ada empat penyakit yang pernah mendapat label serupa. Ini termasuk H1N1 atau flu babi pada tahun 2009, pandemi 1957-1958, pandemi 1968, dan pandemi 1981. Dari seluruhnya, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa pandemi 1981 lah yang terparah.
Lalu, perlukah khawatir dengan status pandemi dari Covid-19? Kepala kedaruratan WHO Michael Ryan pun mengatakan tidak perlu demikian. Sebab, ini hanya digunakan sebagai tanda bahwa aktivitas virus agresif dan intensif, bukan mematikan. Meski begitu, tetap disarankan agar setiap negara semakin fokus untuk mendeteksi, menguji, merawat, mengisolasi, melacak, dan memobilisasi masyarakat.
“Penting bagi setiap negara untuk bekerja secara kooperatif dan terbuka untuk mengendalikan situasi ini. Otoritas kesehatan juga perlu memikirkan dan mempersiapkan ketersediaan rumah sakit, antivirus, serta hal-hal pendukung lainnya,” katanya.
SARAH ERVINA DARA SIYAHAILATUA | NEWYORKTIMES | CDC | WHO