TEMPO.CO, Jakarta - Selain wabah corona, Indonesia masih bergelut melawan penyakit Tuberculosis (TBC). Penyakit ini masih menjadi persoalan kesehatan karena tingginya jumlah pengidap TBC dan berpotensi menyebabkkan kematian. TBC adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang masuk ke tubuh seseorang kemudian menjadi TBC laten. Bagian tubuh yang diserang adalah paru-paru, tetapi bagian tubuh lainnya juga bisa menjadi sasaran, seperti sistem peredaran darah, sistem saraf pusat, sistem kelenjar getah bening, tulang, dan lainnya.
Bahayanya adalah penyakit ini bersifat menular karena seseorang yang terkena TBC, jarang menyadari bahwa tubuhnya telah terinfeksi dan kuman TBC telah berkembang biak. Alih-alih melakukan pemeriksaan malahan tetap beraktivitas tanpa alat pengaman, seperti masker sehingga batuk dan bersin akan terbawa oleh butiran debu atau titik air yang berterbangan di udara dan mengenai orang lain.
Walaupun penyakit TBC di Indonesia dinyatakan oleh Badan Kesehatan Dunia berada pada urutan ke-3 terbesar di dunia setelah India dan Cina, tetapi kebanyakan orang masih belum menyadari apakah ia mengidap TBC dan kerap bingung membedakannya dengan penyakit lain. Padahal bisa jadi gejala TBC sudah dimulai bertahap kemudian berkembang dalam jangka waktu beberapa minggu hingga berbulan-bulan.
Pada 24 Maret ini diperingati sebagai Hari TBC Sedunia. Sebenarnya, saat kuman TBC tersebut masuk ke paru-paru akan terjadi perlawanan dari sistem pertahanan tubuh, yaitu sel-sel darah putih akan mengepung bakteri-bakteri TBC. Masalahnya, bakteri TBC berukuran kecil dan ulet sehingga kebanyakan dapat lolos serta dilapisi oleh zat seperti lilin sehingga dapat tetap hidup. Dalam hal ini kita diharapkan menerapkan gaya hidup sehat dan bersih untuk mendukung sistem pertahanan tubuh untuk memusnahkan kuman yang masuk melalui saluran pernafasan karena bakteri dapat bersarang dalam tubuh tanpa menimbulkan gejala kemudian akan aktif bila sistem imunitas melemah.
Manager Medical Underwriter Sequis dokter Fridolin Seto Pandu mengatakan jika secara fisik terdapat gejala-gejala, seperti nafsu makan berkurang, sering keringat dingin terutama pada malam hari, sering merasa lelah berlebihan, batuk berdahak berkepanjangan hingga 3 minggu yang tak kunjung sembuh hingga mengalami batuk berdarah, perubahan warna kulit menjadi lebih pucat, terasa nyeri pada dada dan merasa sesak ketika bernafas, sebaiknya segera memeriksakan diri ke dokter.
Baca juga:
Pengobatan penyakit TBC tentu membutuhkan biaya besar terutama jika kondisi penyakit pasien sudah dalam tahapan kronis. Oleh karena itu, hidup sehat dan bersih haruslah menjadi gaya hidup. Selain soal kesehatan, penting juga kita memiliki kemampuan mengelola risiko, yaitu bagaimana pendapatan yang diperoleh tidak hanya habis untuk membiayai kebutuhan hidup namun mampu melipat kekayaan dan mempercepat pertumbuhannya.
Menurut Agency Development Manager Henry Kurniawan kemampuan mengelola risiko artinya, pendapatan yang kita miliki dikelola sedemikian rupa agar dapat meredam dan meminimalisir risiko ekonomi jika terjadi hal tak terduga, seperti sakit kritis, salah satunya TBC. Sebesar apapun pendapatan, tidak akan cukup jika harus memenuhi semua kebutuhan, keinginan, dan risiko tak terduga lainnya, seperti mengobati anggota keluarga yang sakit apalagi penyakit yang bersifat menahun, dapat kambuh, atau penyakit kritis. "Kita memerlukan asuransi kesehatan yang berguna untuk mengalihkan risiko ekonomi menyangkut pembiayaan pengobatan medis. Maksudnya adalah, ketika harus dirawat di rumah sakit dan membutuhkan biaya pengobatan maka perusahaan asuransi yang akan membayar pengobatan tersebut sesuai yang tercantum dalam buku polis,” kata Henry dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada 24 Maret 2020.
Ilustrasi Tuberkulosis atau TBC. Shutterstock
Bahkan, kata Henry, dengan memiliki asuransi kesehatan dengan berbasis unit link (menjadi asuransi tambahan pada asuransi jiwa), pencari nafkah memiliki perlindungan atas nilai ekonomis dirinya bagi keluarga yang selama ini bergantung hidup padanya karena jika terjadi risiko kematian ada sejumlah Uang Pertanggungan (UP) yang berguna untuk menggantikan sementara nilai ekonomis pencari nafkah sehingga keluarga yang ditinggalkan dapat bertahan hidup.
Pertanyaanya, jika sudah pernah mengidap TBC apakah masih dapat membeli asuransi kesehatan? Fridolin mengatakan bisa saja membeli asuransi kesehatan walau memiliki riwayat penyakit TBC asalkan calon nasabah telah menjalani pengobatan sesuai petunjuk dokter yang dibuktikan dengan surat bahwa kondisinya sudah sehat dan hasil rekam medis terbaru dari dokter sebagai bukti bahwa pengobatan TBC sudah selesai dijalani. Namun demikian, perusahaan asuransi juga akan mempertimbangkan jenis penyakit TBC yang pernah diidap pasien karena penyakit TBC banyak jenisnya dan berpotensi menyerang seluruh organ tubuh, seperti TBC kelenjar, TBC tulang, TBC usus, TBC ginjal, TBC selaput otak. “Misalkan pada pasien TBC paru-paru harus menunjukkan bukti hasil rontgen dada, tes fungsi paru-paru, dan pemeriksaan fisik dokter. Dari hasil rekam medis tersebut akan diputuskan apakah paru-paru pasien masih berfungsi normal sehingga bisa mendapatkan perlindungan asuransi,” sebutnya.
Dengan memiliki asuransi kesehatan akan memudahkan masyarakat menjalani pengobatan, tetapi ia tetap menyarankan agar masyarakat melakukan pencegahan terjadinya TBC karena dengan memiliki kesehatan yang baik serta dijaga oleh asuransi kesehatan maka kita berkesempatan meraih hari esok yang baik. Dengan mencegah penularan TBC, berarti kita mendukung program pemerintah Indonesia untuk mengeliminasi TBC menuju Indonesia Bebas TBC pada 2030.