TEMPO.CO, Jakarta - Bagi Agus Nur Amal, menjadi seorang ahli dongeng atau penutur hikayat membutuhkan disiplin diri untuk berkarya. Laki-laki 50 tahun yang dikenal dengan nama panggung PM Toh itu menganggap disiplin dirilah yang membuatnya bertahan menjadi pencerita selama hampir tiga dekade. “Kalau dulu olah vokal sambil berenang, sekarang setiap pagi jalan kaki. Intinya, harus disiplin sama diri sendiri,” kata Agus kepada Tempo, Kamis 19 Maret 2020.
Menjadi pembawa hikayat, bagi Agus, adalah sebuah ibadah. Kuliah di Jurusan Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta membuatnya berpikir hal apa yang bisa dimanfaatkan untuk profesi setelah lulus. Sampailah dia pada hikayat. “Saat itu hikayat hanya dinikmati sekelompok kecil masyarakat,” ujar seniman kelahiran Sabang, Aceh, itu. Berbekal ilmu seni pertunjukan, dia pun membawa hikayat menjadi cerita yang modern. Tak jarang ia menggunakan cara berhikayat untuk memperkenalkan sains dan teknologi.
Agus mengumpulkan barang-barang bekas, seperti sandal jepit yang dijadikan mainan mobil atau sepeda motor, sebagai alat peraga dalam bercerita. Dengan gaya seperti itu, ia bermain di berbagai tema cerita. Pada 1990-an, Agus menggarap cerita bertema politik yang represif ala Orde Baru. “Pohon Beringin Orde Baru” adalah salah satu kisahnya saat itu. Setelah datang masa reformasi, dia meninggalkan cerita politik dan mulai kembali menggarap cerita Nusantara.
Tidak hanya cerita Nusantara, Agus juga mengarap cerita-cerita tentang ilmu pengetahuan, kisah tokoh pejuang, hingga orang-orang yang berpengaruh dalam sejarah. “Saya bisa diterima oleh semua golongan dan elite. Ketika bercerita, saya menggunakan istilah yang ramah dan memainkan benda-benda yang dipersonifikasikan,” kata dia.
Dengan cakupan semakin luas, dia pun butuh cara untuk menjaga fisiknya tetap prima saat bercerita. Berbagai cara bercerita sudah ada dalam pikirannya ketika memulai kariernya dengan menggelar pertunjukan keliling. Latihan vokal, latihan fisik, dan menjaga pola makan adalah kunci. “Saya minum air kelapa seminggu sekali, dan sekarang masih melakukan hal yang sama.”
ANWAR SISWADI | KORAN TEMPO