TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah pasien positif virus corona alias COVID-19 terus bertambah. Hingga Selasa 31 Maret 2020, jumlah pasien yang terinfeksi virus corona mencapai 1.528 orang. 136 pasien sudah meninggal dan 81 orang sudah dinyatakan sembuh. Pemerintah pun mengupayakan berbagai hal untuk menangani kasus wabah corona ini.
Konsultan Paru Sub Infeksi RSUP Persahabatan Erlina Burhan mengatakan orang yang terkena virus corona mengalami demam, batuk, dan pilek. Bila infeksinya sudah sampai ke paru, orang bisa mengalami pneumonia (radang paru) hingga mengalami kesulitan napas atau sesak yang bisa berujung pada kematian. Namun pada beberapa kasus, seorang yang mengidap Virus Corona tidak menunjukkan gejala apapun.
Erlinda menambahkan bahwa virus corona sangat pintar. Virus ini mungkin tidak membuat seseorang sakit karena memiliki daya tahan tubuh yang baik, namun ia bisa bersembunyi di tubuh seseorang. Kemudian, virus pun akan ditransfer kembali kepada orang-orang dengan daya tahan tubuh lemah.
Virus corona juga bisa menyerang anak-anak. Merujuk pada laporan Business Insider, peneliti menyatakan bahwa 90 persen anak-anak yang mengidap virus corona menunjukkan gejala ringan atau sedang, 39 persen berkembang menjadi pneumonia tanpa menunjukkan gejala yang jelas, 50 persen lainnya mengalami demam, batuk, sesak napas, sakit tenggorokan, kelelahan sementara 4 persen lainnya tidak menunjukkan gejala apapun.
Erlinda menyarankan agar masyarakat menjaga asupan gizi seimbang, cukup istirahat, minum suplemen, dan vitamin. “Masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan, karena virus corona bisa menular bila terjadi kontak langsung dengan orang yang sudah lebih dulu mengidap corona. Namun bila seseorang memiliki antibodi yang kuat, maka virus corona tidak bisa melumpuhkan tubuh,” ujar Erlinda dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada Senin 30 Maret 2020.
Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin dari Professor Nidom Foundation Chairul A. Nidom adalah salah satu sosok yang terlibat langsung saat penanganan wabah flu burung beberapa tahun lalu. Ia menjelaskan bahwa COVID-19 seperti juga flu burung merupakan wabah internasional atau global. Flu burung tidak pandemi karena penularannya tidak secepat COVID-19. Risiko kematian flu burung di Indonesia bisa sampai 83,9 persen, tapi jumlah yang terinfeksi tidak terlalu banyak. COVID-19 lebih cepat penyebarannya karena bisa menular melalui kontak langsung antar sesama manusia. Oleh karena itu sangat penting bagi masyarakat untuk selalu menjaga daya tahan tubuh agar terhindar dari ancaman virus COVID -19.
Salah satu bahan alami yang dapat digunakan untuk memelihara daya tahan tubuh adalah temulawak atau Curcuma xanthorrhiza Roxb yang mengandung curcumin. Temulawak sudah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan dan pengobatan penyakit, serta pada masa pemulihan.
Terkait dengan infeksi virus COVID-19, Nidom menjelaskan curcumin dalam temulawak mampu mengendalikan produksi sitokin akibat dari satu sel yang terinfeksi oleh virus, baik itu virus infuenza maupun virus corona. Sitokin adalah protein yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh, bila terpapar virus terus menerus bisa terjadi badai sitokin yang membuat paru- paru padat dan kaku sehingga terjadi sesak nafas bahkan gagal nafas dan bisa berlanjut ke kematian. Nidom mengungkapkan, dalam penelitian yang ia lakukan pada 2008 curcumin pada temulawak mampu mengendalikan sitokin inflamatori sehingga tidak terjadi badai sitokin.
Hasil penelitian Nidom ini sejalan dan memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan, bahwa temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) yang mengandung curcumin memiliki efek terhadap daya tahan tubuh yaitu sebagai imunomodulator. Varalaksmi, melalui penelitian in vivo juga menyatakan bahwa curcumin dapat memodulasi sistem daya tahan tubuh dengan cara meningkatkan kemampuan proliferasi sel T.
Penelitian bio-informatika yang dipublikasikan pada Maret 2020 dan kepustakaan terbaru telah menyebut bahwa curcumin merupakan salah satu kandidat antivirus SARS-CoV-2. Diharapkan curcumin yang terkandung di temulawak mampu meningkatkan ekspresi ACE2 bentuk soluble yang dapat menghambat terjadinya ikatan antara protein virus dengan ACE2 bentuk fixed pada permukaan sel inang, dimana ACE 2 merupakan sel inang bagi COVID-19 (Inggrid Tania, 2020).
Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisonal dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) Inggrid Tania mendukung hasil penelitian tersebut. Inggrid menjelaskan, secara fungsional, ada dua bentuk ACE2 yaitu bentuk fixed (menempel pada permukaan sel) dan soluble (bentuk bebas dalam darah). ACE2 bentuk soluble diproyeksikan menjadi salah satu kandidat antivirus corona melalui mekanisme interseptor kompetitif yang mencegah ikatan antara partikel virus dengan ACE2 pada permukaan sel inang.
Menurut Inggrid, temulawak sudah dikonsumsi masyarakat Indonesia selama berabad-abad. Inggrid menjelaskan, berdasarkan empirical experiental evidence, scientific evidence, dan clinical evidence temulawak terbukti aman dan memberikan manfaat daya tahan tubuh. Berbagai penelitian, terutama penelitian in-vitro dan praklinis di dunia terhadap curcumin menunjukkan bahwa curcumin bersifat antiperadangan, antivirus, antibakteri, antijamur, dan antioksidan.
Raphael Aswin Susilowidodo, VP Research and Development SOHO Global Health menganjurkan masyarakat untuk menggunakan temulawak yang telah diekstrak. Penggunaan temulawak yang telah diekstrak menurut DR Aswin lebih efektif menjaga kesehatan tubuh karena kadar curcuminnya lebih terukur sehingga sesuai dengan kebutuhan tubuh. "Untuk mendapatkan ekstrak curcumin 20 miligram diperlukan 7500 miligram temulawak segar, sehingga produk Curcuma FCT sangat simple dan nyaman digunakan pasien tanpa harus repot membuat rebusan,” kata Aswin.