TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah kasus COVID-19 terus meningkat di Indonesia dan telah menghasilkan sejumlah konsekuensi sosial dan ekonomi. Sejumlah tindakan harus diambil guna mencegah penyebaran virus corona.
Pemerintah pun mengimbau bekerja dari rumah maupun pembatasan jarak sosial terkait pencegahan COVID-19 ini. Pemerintah juga telah memutuskan arahan bagi para siswa untuk sekolah dari rumah. Sementara, sejumlah pihak terus mengkampanyekan agar masyarakat berdiam di rumah untuk mengurangi risiko terinfeksi virus corona baru.
Beraktivitas di rumah juga memiliki sejumlah implikasi yang berbeda dengan kondisi normal. Ikatan Psikolog Klinis Indonesia merilis informasi berkaitan dengan manfaat psikologis yang bisa didapatkan dari kondisi ini. Ditulis oleh psikolog Anna Surti Ariani, manfaat berdiam diri atau beraktivitas di rumah bisa membentuk kebiasaan baru yang lebih baik, misalnya rajin mencuci tangan dan membersihkan ruangan serta barang karena adanya imbauan demikian terkait virus corona.
Selain itu, berada di rumah juga bisa membuat orang lebih kreatif karena mengonsumsi banyak informasi dan memikirkan ide yang tak pernah terpikir sebelumnya. Tak hanya itu, aktivitas di rumah tentunya dapat meningkatkan kedekatan keluarga.
Sementara itu, psikolog Samanta Ananta menyebut bahwa kondisi ini memiliki sisi positif untuk mengurangi risiko penularan virus. Menurutnya, hal ini penting tak hanya bagi kesehatan fisik tubuh saja tetapi juga kesehatan mental yang dipengaruhi oleh pikiran.
Baca Juga:
Adapun, kegiatan seperti bekerja dari rumah juga memiliki sisi negatif dalam sudut pandang psikologi. Misalnya, untuk individu yang tidak terbiasa dengan situasi ini akan jadi lebih sulit mengatur jadwal yang tepat.
Menurutnya, keadaan ini bisa menimbulkan dua kondisi, yakni orang menjadi bekerja berlebihan atau sebaliknya, orang menjadi terlalu santai sehingga konsentrasi menurun. Ini memberikan efek terhadap kualitas kesejahteraan psikologi seseorang.
“Yang biasanya kerja sampai jam 5, ada yang jadi harus kerja sampai jam 9 malam karena atasan justru melimpahkan pekerjaan lebih banyak. Ada juga yang seharusnya jam 3 sudah submit pekerjaan malah belum kelar lantaran jadi browsing. Jadi kurang produktif, efektif, dan efisien,” katanya.
Belum lagi, atmosfer bekerja di rumah tidak sama dengan kantor yang bisa jadi lebih santai atau lebih ribet karena ada banyak gangguan lain. Oleh sebab itu, Samanta menyarankan supaya kita menciptakan suasana yang menyerupai kantor.
Dia menyampaikan agar rutinitas harian layaknya di kantor tidak boleh hilang hanya karena kegiatan dilakukan di rumah. Hal ini bisa dilakukan dengan praktik, misalnya tetap menggunakan pakaian kerja, melakukan panggilan video di waktu-waktu tertentu, melaporkan hasil kerja ke atasan, dan lain sebagainya.
Kondisi bekerja dari rumah akan lebih berat dilakukan oleh orang tua yang memiliki anak. Pasalnya, baik ibu atau ayah harus mengurus pekerjaan harian yang ada kantor dan pekerjaan di rumah.
Tak hanya itu, anak-anak juga kini mendapatkan imbauan untuk pola yang sama, sekolah dari rumah. Mau tidak mau, orang tua harus tetap memastikan anak-anak belajar tentang materi sekolah sambil bekerja.
“Saat ini, orang tua memiliki beban berlipat. Di satu sisi harus fokus dengan tugas kantor, di sisi lain perlu menjadi tutor untuk anak yang diharapkan belajar mandiri di rumah. Kebiasaan baru yang serbamenekan ini membuat banyak orang mengalami stres, cemas, panik, dan takut,” katanya.
Untuk itu, Samanta menyarankan agar orang tua tidak perlu terlalu memaksakan anak belajar karena semakin hal itu dilakukan akan semakin menambah tekanan. Hal yang harus dilakukan dalam kondisi demikian adalah mengajarkan anak bagaimana merespons situasi yang tidak kondusif ini.
Dia mencontohkan, misalnya membekali anak dengan hal-hal yang menyenangkan, seperti melakukan panggilan video dengan teman dan tetap diawasi, membacakan buku ke anak-anak, memasak bersama, hingga bermain bersama,
“Lakukan aktivitas dengan rasa senang adalah kunci agar anak termotivasi belajar di rumah,” ujar Samanta.