TEMPO.CO, Jakarta - Karantina diri akibat wabah virus corona telah mengubah kehidupan sehari-hari. Lama berdiam diri di rumah memunculkan penghapusan elemen-elemen kunci dan membuat banyak orang mengalami krisis identitas.
Dr. Paul Marsden, seorang psikolog di Universitas Arts London menjelaskan lockdown memang berpotensi menimbulkan krisis identitas. Dia mengatakan sebenarnya rasa identitas yang positif didorong oleh tiga hal, memiliki rasa otonomi, rasa keterkaitan, dan rasa kompetensi, psikolog menyebutnya ARC kebahagiaan. Marsden mengatakan karantina diri akibat virus corona menimbulkan masalah untuk ketiga hal ini.
"Rasa otonomi kita misalnya mengalami kebebasan, pilihan dan kontrol frustrasi oleh pembatasan. Rasa keterkaitan misalnya mengalami perawatan, koneksi, dan afiliasi, frustrasi oleh jarak sosial, dan kompetensi, misalnya prestasi, penguasaan, dan kesuksesan sehingga frustrasi oleh situasi yang dirasa tidak kompeten untuk dihadapi," ujarnya, dikutip dari www.metro.co.uk.
Tetapi, seperti apakah krisis diri ini sebenarnya? Instruktur utama NLP dan hipnosis Rebecca Lockwood menjelaskan krisis identitas adalah ketika seseorang mulai bingung dengan apa yang disukai, apa yang tidak, dan mulai merasa seolah-olah tidak yakin siapa dirinya dan apa yang diinginkan dari kehidupan.
"Mereka terus-menerus mempertanyakan diri sendiri dan merasa tidak aman, ini biasanya terjadi ketika peristiwa emosional yang signifikan terjadi, seperti putus, memiliki anak atau iklim lockdown saat ini," tuturnya, dikutip dari www.rebeccalockwood.org.uk.
Dia menjelaskan pikiran biasanya teralihkan dengan kegiatan sehari-hari, tetapi ini adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan sementara karena virus corona.
"Pikiran kita disibukkan dengan tugas, tanggung jawab, dan rencana, semua hal yang menciptakan banyak kebisingan internal. Ketika hal-hal ini dilucuti dan bahwa kebisingan menghilang, kita dapat menemukan diri kita mempertanyakan siapa kita di suasana tenang ini," jelasnya.