TEMPO.CO, Jakarta - Ada kasus pasien COVID-19 yang sudah sembuh kembali terinfeksi, seperti yang terjadi pada ajudan Wakil Gubernur Wumut. Dokter spesialis paru Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Andika Chandra Putra, mengatakan ada beberapa kemungkinan mengapa seseorang bisa kembali positif COVID-19 setelah sempat dinyatakan sembuh.
"Pertama, memang ada risiko reinfeksi, sudah sembuh dua kali negatif tapi kemudian tertular lagi. Kedua, kita sebut false negative ini misalnya karena jumlah spesimen atau virusnya tidak begitu banyak sehingga tidak terdeteksi PCR sehingga hasilnya negatif," kata Ketua Bidang Ilmiah dan Penelitian Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) itu.
Jumlah virus atau viral load dari bahan yang diperiksa akan mempengaruhi hasilnya. Semakin sedikit virus dalam sebuah spesimen maka akan mempengaruhi hasil polymerase chain reaction (PCR).
Kemungkinan ketiga adalah reaktivasi, yaitu seperti virus tidur di dalam tubuh seseorang karena mungkin daya tahan tubuhnya sudah ada perbaikan tapi kemudian aktif kembali. Hasil tes PCR juga dipengaruhi spesimen pasien yang diperiksa. Spesimen yang diambil untuk PCR terkadang mempengaruhi tingkat akurasi.
Dia mengatakan berdasarkan penelitian yang membandingkan spesimen dari pasien yang diduga terpapar COVID-19 ada beberapa jenis pemeriksaan yang memiliki akurasi lebih tinggi. Pemeriksaan yang dibandingkan adalah bronkus, tes faringeal atau tes swab faring, naso swab, dan juga swab dari dahak.
"Memang kalau yang bilasan bronkus atau bilasan paru angka kepositifannya di atas 93 persen, tapi itu invasif," jelasnya.
Pemeriksaan spesimen dengan bilasan bronkus hanya dilakukan untuk kondisi tertentu karena selain invasif untuk tubuh juga berisiko karena bisa aerosol dan terhirup oleh dokter. Pemeriksaan tenggorokan tingkat akurasinya hanya 60-70 persen, sisa 30 persen itu yang memberikan kemungkinan false negative dari sebuah tes PCR.