TEMPO.CO, Jakarta - Virus corona membuat berbagai negara menerapkan lockdown demi menekan penyebaran virus itu. Beberapa negara seperti Malaysia, India, Thailand, Perancis dan Amerika Serikat memang telah menerapkan lockdown atau pembatasan kegiatan di luar rumah. Meski begitu, lockdown dinilai memiliki banyak kekurangan.
Salah satu kekurangan yang dinilai banyak orang adalah tidak bisanya seseorang bertemu dan berinteraksi dengan sesama serta harus terus berada di dalam rumah. Akibatnya, masyarakat pun bisa menjadi stres dan mengalami gangguan mental serta kejiwaan lainnya.
Atas alasan tersebut, kini social bubbles pun telah dipertimbangkan untuk menjadi pengganti lockdown. Lalu, apa pengertian social bubbles itu sendiri? Melansir dari situs Sky News, social bubbles merupakan suatu grup yang berisikan sekelompok orang dalam jumlah kecil, yakni 10 individu.
Seperti halnya yang telah diterapkan di New Zealand, setiap orang dengan social bubbles harus menentukan siapa orang yang ingin ditemui. Kelompok ini pun harus terus menjadi satu. Sisi positifnya, mereka juga dengan bebas beraktivitas di luar rumah.
Meski begitu, menjaga diri dengan menetapkan jarak dua meter per individu serta menerapkan gaya hidup bersih dan sehat lewat mencuci tangan dan mengkonsumsi makanan bergizi tetap dilakukan. Dengan demikian, risiko terpapar virus pun menjadi lebih kecil.
Rupanya, New Zealand berhasil membuat pasien Covid-19 baru yang biasanya naik drastis menjadi nol. Tak heran, associate professor untuk departemen epidemiologi penyakit menular di London School of Hygiene and Tropical Medicine, Stefan Flasche pun menyetujui social bubbles.
“Pengelompokan kontak sosial ini akan memungkinkan masyarakat bergaul dengan teman-teman mereka sehingga bisa menjadi alternatif dari masalah mental akibat lockdown,” katanya seperti dilansir dari situs CNBC.
Adapun rencananya, Skotlandia ingin menerapkan social bubbles dalam waktu dekat. “Kami sedang mempertimbangkan social bubbles sebagai cara Inggris kembali beroperasi secara sosial di luar rumah,” kata Menteri pertama Skotlandia Nicola Sturgeon.
SARAH ERVINA DARA SIYAHAILATUA | SKYNEWS | CNBC