TEMPO.CO, Jakarta - Hari Hipertensi Dunia diperingati setiap 17 Mei. Masyarakat pun diimbau menjaga tekanan darah dan mencegah komplikasi sebagai kunci selamat di masa pandemi virus corona.
Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan salah satu penyakit penyerta alias komorbiditas berbahaya bagi pasien Covid-19. Berdasarkan pedoman American Heart Association (AHA), orang dengan tekanan darah tinggi menghadapi risiko komplikasi lebih parah jika terinfeksi Covid-19.
Menurut data temuan pasien Covid-19 yang meninggal di Indonesia juga menunjukkan paling banyak mengidap hipertensi dengan komorbiditas penyakit kronis lain, seperti jantung, ginjal, diabetes, hingga stroke.
Namun, sampai saat ini kepedulian terhadap hipertensi dan kesadaran akan pencegahan sekaligus pengobatannya di Indonesia masih rendah. Sebagian besar tidak menyadari telah menderita hipertensi sehingga tidak mendapatkan pengobatan.
Riskesdas 2018 mencatat sebanyak 63 juta orang atau sebesar 34,1 persen populasi penduduk di Indonesia menderita hipertensi. Dari populasi hipertensi tersebut, hanya 8,8 persen terdiagnosis dan 54,4 persen yang terdiagnosis rutin minum obat.
Presiden Indonesian Society of Hypertension (InaSH) atau Ketua Perhimpunan Dokter Hipertensi (Perhi) Tunggul D. Situmorang megatakan hipertensi merupakan masalah kesehatan global yang mengakibatkan meningkatnya angka sakit dan kematian serta beban biaya kesehatan.
"Hipertensi tidak bergejala seperti silent killer dan merusak organ-organ penting, antara lain otak, jantung, ginjal, pembuluh darah besar sampai ke pembuluh darah kecil," ujar Tunggul.
Pada pertemuan tahunan ke-13 pada Februari 2020, Perhi meluncurkan Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi yang menggarisbawahi diagnosis hipertensi sangat ditentukan oleh man, material, method (3M), yaitu dokter dan pasien, alat pengukur, dan pengukurannya, termasuk persiapan.
Pemeriksaan tekanan darah di rumah (PTDR) diyakini berperan penting untuk deteksi, diagnosis, dan evaluasi terapi yang efektif serta bermanfaat memberikan gambaran variabilitas tekanan darah. Menurutnya, terdapat kasus khusus, yaitu pada pasien yang diagnosis hipertensinya meragukan, seperti prahipertensi atau border-line hypertension, white-coat hypertension alias tekanan darah tinggi bila diukur di klinik, atau masked hypertension alias tekanan darah justru tinggi bila di luar klinik atau di rumah.
Data penelitian Perhi 2017 menunjukkan bahwa 63 persen pasien yang sedang diobati hipertensi itu tidak terkontrol. Hal ini menunjukkan sebagian besar pasien hipertensi tidak terobati secara optimal karena berbagai faktor.
PTDR juga dapat meningkatkan tingkat kepatuhan pasien. Banyak penelitian yang menunjukkan PTDR mempunyai nilai prognostik lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan tekanan darah di klinik.
Data survei Perhi menunjukkan 95 persen dokter sudah menganjurkan PTDR, namun tidak ada keseragaman dalam metode pengukuran maupun frekuensi pengukuran tekanan darah. Dalam Buku Pedoman PTDR dijelaskan lebih rinci tentang PTDR untuk diagnosis hipertensi, cara menggunakan PTDR untuk pasien, frekuensi pemantauan, dan target pengendalian tekanan darah.
Terkait dengan pasien-pasien hipertensi yang terinfeksi virus corona, terdapat isu bahwa ada obat antihipertensi golongan tertentu yang dianggap dapat memperburuk keadaan. Meski begitu, hal tersebut tidak mempunyai bukti-bukti yang cukup sehingga tetap harus diberikan.
“Dalam masa pandemi Covid-19, kami mengimbau masyarakat agar lebih peduli secara teratur melakukan PTDR dan apabila pada pasien hipertensi muncul gejala awal Covid-19 seperti meningkatnya suhu tubuh, sesak napas, batuk kering, segera berkonsultasi kepada dokter,” tegas Tunggul.