TEMPO.CO, Jakarta - Remaja yang menjajal sebagai perokok pemula tenyata gampang dipengaruhi dari pergaulannya dengan teman sebaya.
“Data Profil Anak 2019, 28 persennya dipengaruh saat berkumpul dengan teman sebayanya,” kata Lenny N. Rosalin, Deputi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Bidang Tumbuh Kembang Anak dalam webinar Bersama Kita Bisa Mengalahkan Pandemi yang digelar Union pada Rabu, 10 Juni 2020.
Baca Juga:
Lenny menjelaskan, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali wajib melindungi anak. Saat ini, jumlah anak Indonesia mencapai 79,5 juta atau sekitar 30 persen dari total penduduk Indonesia.
“Ada 4,1 persen dari total jumlah anak Indonesia usia 10 sampai 14 tahun sudah merokok,” katanya. Angka itu terdiri dari 0,7 merokok setiap hari, 1,4 persen merokok kadang-kadang, dan 2 persen mantan perokok,” ujar Lenny.
Tak mengherankan jika prevalensi merokok anak dari tahun ke tahun terus meningkat. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar, prevalensi konsumsi tembakau anak dari 7,2 persen pada 2013, meningkat menjadi 9,1 persen pada 2018. Padahal, semula pemerintah menargetkan prevalensi merokok anak pada 2019 menjadi 5,4 persen.
Ilustrasi larangan merokok. NIGEL TREBLIN/AFP/Getty Images
“Dengan kondisi anak masih rentan terpapar rokok, target itu susah dicapai,” katanya dengan mengakui belum tahu berapa capaian target dari prevalensi merokok anak ini. Ia menambahkan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, pemerintah menarketkan penurunan angka merokok penduduk usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen pada 2024.
Lenny menjelaskan, untuk mencapai target itu, pemerintah getol menggalakkan kabupaten/kota layak anak. Tujuannya untuk melindungi Kesehatan anak dari paparan rokok dengan menekan pemerintah daerah menciptakan kota atau kabupaten layak anak.
Pemerintah pusat sendiri, kata dia, sudah menerbitkan 24 indikator kabupaten atau kota yang layak anak. Salah satu indikatornya adalah kewajiban pemerintah daerah menerapkan Kawasan Tanpa Rokok dan Tidak ada iklan, promosi, dan sponsor rokok. “Jika salah satu indikator tidak terpenuhi, maka daerah itu tidak bisa menjadi kabupaten atau kota yang layak anak,” ujar Lenny.
Menurut Lenny, evaluasi tahun lalu, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, sudah ada 266 kota/kabupaten atau sekitar 51,75 memiliki kebijakan KTR dalam bentuk Peraturan Daerah. Lenny menjelaskan, saat ini, ada sebanyak 27,04 persennya tidak memiliki kebijakan dan 21,21 persennya memiliki kebijakan tapi tidak dalam bentuk peraturan daerah,” katanya.
“Dengan kata lain, ada sebanyak 48,25 persen dari jumlah kota/kabupaten yang tidak layak anak,” kata dia.
Selain itu, kata Lenny, diketahui pula bahwa sebanyak 428 dari 514 kabupaten kota, atau sekitar 83,27 persennya masih bekerja sama dengan perusahaan rokok dalam bentuk CSR. “Apapun bentuk kerja samanya, selagi masih bekerja sama dengan perusahaan rokok, tetap sulit mencapai indikator kota sukses,” ujarnya.