TEMPO.CO, Jakarta - Pandemi Covid-19 tak menghalangi para pencinta serial komik Tintin untuk bertemu, berdiskusi, ataupun unjuk pernak-pernik tokoh wartawan muda bersama anjingnya itu. Andari Karina Anom bersama keluarga pada Lebaran lalu, misalnya, mengunggah foto serta menyampaikan salam dan selamat Idul Fitri di laman Facebook-nya menggunakan masker bergambar tokoh komik karya Herge itu.
Karin, begitu anggota Komunitas Tintin Indonesia itu akrab disapa, memang mengoleksi berbagai pernak-pernik si pemuda kuncung ini. "Salah satunya replika patung kuping belah yang saya dapat di Maroko, tepatnya di Kota Essaouira," ujar Karina. Ia pergi Maroko untuk menyusuri jejak Tintin di Gunung Sahara. "Negeri Emas Hitam setting-nya di Sahara."
Tak hanya ke Maroko, ia pun pernah ke Moskow juga demi berpose ala Tintin di Red Square. "Sekarang wish list Machu Picchu, Peru, setting Tawanan Dewa Matahari. Mudah-mudahan (bisa ke sana) dalam waktu dekat kalau Covid-19 sudah berlalu," tutur mantan wartawan yang kini bekerja sebagai dosen ini. Ia juga pernah mengunjungi tanah kelahiran Tintin di Belgia, termasuk museum Tintin dan Herge.
Anggota komunitas lain, Berthold Sinaulan, 60 tahun, pun punya pengalaman yang tak kalah menarik. Ia sering ber-cosplay sebagai Kapten Haddock, idolanya. Haddock adalah tokoh yang terlihat garang tapi baik hati, setia kawan, dan ringan tangan membantu orang lain. Pada 2012, dengan cosplay tersebut, Berthold diundang ke Museum Filateli Singapura untuk memeriahkan pameran filateli bertema "The Adventures of Tintin".
Ia pun sering memeriahkan berbagai event dengan kostum Kapten Haddock dan pernah memenangi hadiah sebagai cosplayer terbaik. Salah satu pengalaman menariknya dengan kostum itu terjadi tahun lalu, saat ia berkunjung ke Museum Herge di Belgia. Dia diajak berfoto oleh para pengunjung. "Pihak museum senang dengan kehadiran Kapten Haddock. Bahkan saya diberi hadiah tas Tintin," ujar Berthold, yang mengaku sebagai cosplayer tertua.
Komunitas Tintin Indonesia berdiri pada 13 Juni 2003 dan mereka membuat grup di Facebook. Memperingati ulang tahun ke-17, mereka menggelar webinar tentang penerjemahan komik Tintin di Indonesia. Saat itu, kebanyakan peserta adalah remaja. "Ada banyak peserta dari luar komunitas dan itu pertanda baik," kata Surjorimba Suroto, Ketua Komunitas Tintin Indonesia, kepada Tempo melalui surat elektronik, 17 Juni 2020.
Sebetulnya, menurut Surjo, pertemuan atau kopi darat hanyalah pelengkap. Sebab, KTI sejak awal didirikan dengan platform media sosial. Di sana, semua penggemar Tintin dari seluruh Indonesia bergabung dan berinteraksi. Sebagai komunitas yang cair, mereka tidak membuat struktur organisasi formal. Biasanya, setiap mengadakan kegiatan, mereka membentuk kepanitiaan ad hoc secara kolektif sekaligus sebagai pertanggungjawaban kepada anggota.
Surjo menjelaskan, komunitasnya ini berawal dari mailing list Masyarakat Classic Rock (M-Claro). Mereka kerap berbincang tentang aneka topik ihwal musik dan komik. Secara spesifik, mereka membicarakan komik Tintin. Almarhum Luky Kurniawan, salah satu anggota milis itu, lalu mengusulkan agar dibuat milis terpisah supaya lebih seru dan leluasa berbincang. "Lalu menyebar dari mulut ke mulut," tuturnya.
Lonjakan jumlah anggota, menurut Surjo, terjadi ketika muncul tulisan di Koran Tempo pada 2004 saat ulang tahun Tintin ke-75 dan media lain tahun berikutnya. Usia para anggota sangat beragam, dari 17 hingga 65 tahun. Umumnya mereka mengenal Tintin dari keluarga dan teman. Kini jumlah anggota grup mereka di Facebook sekitar 4.650 orang.
Awalnya, niat mereka hanya ingin bernostalgia. Namun kegiatan itu berkembang, dari saling bertemu, diskusi, jual-beli koleksi komik, ikut pameran, peluncuran buku, kunjungan museum, talk show, wisata go green, hingga kampanye transportasi massal. Mereka juga saling menitip membeli merchandise kepada anggota yang sedang melawat ke luar negeri. Pernah pula mereka menggelar nonton film bareng. Tak jarang, sejumlah anggota hadir berdandan ala tokoh-tokoh di serial, misalnya sebagai Tintin dan Kapten Haddock.
Mereka juga kerap mengunjungi tempat-tempat yang menjadi setting dalam serial komik, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Di Indonesia, salah satu tempat paling monumental adalah Bandara Kemayoran, Jakarta. Dalam serial Tintin di Jakarta, dikisahkan Tintin bersama anjing kesayangannya, Snowy; Kapten Haddock; dan Profesor Calculus menggunakan penerbangan 714 serta singgah di Kemayoran. Di sana diperlihatkan gedung Bandar Udara Kemayoran dan menara ATC berornamen kotak-kotak berwarna merah dan putih.
Tidak hanya didatangi penggemar asal Indonesia, bekas bandara pada 1940-1980-an itu juga dikunjungi penggemar Tintin dari luar negeri. Duta Besar Belgia untuk Indonesia, Stephane de Loecke, pun pernah mengunjungi tempat ikonis tersebut pada tahun lalu.
Salah satu keinginan besar para anggota komunitas atau pencinta Tintin ini adalah bisa menggelar tur bersama ke Musee Herge (Kota Louvain le Neuve, Belgia) dan berbagai tempat setting Tintin. "Kepengen-nya bisa berkunjung ke tempat-tempat setting di komik," ujar Surjo, yang juga gemar musik rock progresif dan hobi traveling.
KORAN TEMPO