TEMPO.CO, Jakarta - Sebelum pandemi COVID-19, penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit katastropik dengan penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Hal ini mengakibatkan hilangnya hari produktif bagi penderita dan pendamping.
Penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menunjukkan saat ini perkembangan PTM di Indonesia kian mengkhawatirkan. Pasalnya, peningkatan tren PTM diikuti oleh pergeseran pola penyakit, jika dulu penyakit jenis ini biasanya dialami oleh kelompok lanjut usia, maka kini mulai mengancam kelompok usia produktif.
Direktur Pencegahan Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Cut Putri Ariane, menyebutkan kalau dulu anggapannya pada orang tua. Tapi, sekarang trennya mulai naik pada usia 10-14 tahun.
Ancaman ini akan berdampak besar bagi sumber daya manusia dan perekonomian Indonesia ke depan karena di tahun 2030-2040 Indonesia akan menghadapi bonus demografi, yang mana usia produktif jauh lebih banyak dibandingkan kelompok usia nonproduktif.
Namun, apabila tren PTM usia muda naik, maka upaya Indonesia untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang sehat dan cerdas menuju Indonesia maju pada 2045 sulit tercapai.
“Kita sebentar lagi menghadapi bonus demografi, yang kita harapkan pada usia-usia produktif yang tidak hanya cerdas secara akademis tapi juga sehat karena sehat itu modal awal produktivitas,” terangnya di laman resmi Kemenkes.
Cut mengungkapkan masih tingginya prevalensi PTM di Indonesia disebabkan gaya hidup yang tidak sehat. Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa 95,5 persen masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi sayur dan buah. Kemudian, 33,5 persen masyarakat kurang aktivitas fisik, 29,3 persen usia produktif merokok setiap hari, 31 persen mengalami obesitas sentral, serta 21,8 persen terjadi obesitas pada dewasa.
“Perilaku kita di era teknologi sekarang ini ternyata tidak semakin baik. Mungkin momentum ini yang mengingatkan kita semua ketika imunitas tubuh turun, orang semakin banyak yang peduli untuk mengubah gaya hidup,” tutur Cut.
Cut menekankan perubahan gaya hidup harus dilakukan sedini mungkin sebagai investasi kesehatan masa depan. Juga dengan pengendalian faktor risiko harus dilakukan sedini mungkin. Masyarakat harus memiliki kesadaran kesehatan agar tahu kondisi badan agar semakin mudah diobati sehingga tidak terlambat.
“Jangan lupa deteksi dini, untuk orang sehat merasa dirinya tidak memiliki keluhan, belum tentu tetap sehat, lakukan skrining minimal 6 bulan sampai 1 tahun sekali,” kata Cut.
Lebih lanjut, Cut menjelaskan bahwa saat ini tren PTM semakin meningkat, dan menyerap biaya terbesar dalam JKN.
“Kalau kita lihat, jantung koroner merupakan penyakit penyebab kematian tertinggi, diikuti kanker, diabetes melitus dengan komplikasi, ada tuberkulosis, kemudian PPOK,” kata Cut.