TEMPO.CO, Jakarta - Pembatasan sosial di berbagai negara sudah dilonggarkan. Para konsumen telah kembali ke pusat-pusat perbelanjaan. Namun, tidak ada kejelasan apakah mereka akan kembali berbelanja seperti dulu atau ada perubahan pola belanja.
Hal ini terutama banyak diperhatikan oleh para pemilik bisnis mode high street atau merek yang diproduksi massal dengan harga relatif terjangkau. Disebut High Street karena toko-toko ini berlokasi di jalan utama (high street).
Dilansir melalui BBC, meskipun tanda-tanda ceria di jendela toko mengatakan, "Selamat datang kembali" dan "Kami merindukan Anda!', sebagian besar masyarakat sadar masih berada di tengah-tengah pandemi global. Untuk meyakinkan konsumen ini adalah saat yang aman untuk berbelanja, para peritel memberlakukan sederet protokol, seperti pengecekan suhu tubuh, mewajibkan konsumen mengenakan masker saat berada di dalam toko, menyediakan pembersih tangan, hingga mendisinfeksi pakaian yang selesai dicoba di kamar pas, hal yang seharusnya dilakukan tanpa harus menunggu pandemi.
"Dengan krisis Covid-19, kekhawatiran akan kebersihan dan keamanan jauh lebih akut daripada sebelumnya," kata Paco Underhill, pakar perilaku konsumen dan pendiri perusahaan konsultan ritel yang berbasis di New York City, Envirosell.
Dia menambahkan setiap masalah yang ditemui pelanggan terkait kebersihan, baik yang dirasakan atau yang terlihat, akan berdampak pada loyalitas mereka terhadap satu merek. Di tengah kondisi seperti ini, loyalitas adalah harapan satu-satunya bagi para peritel. Pembatasan sosial yang berlangsung selama berbulan-bulan telah menghancurkan bisnis nonesensial.
Baca Juga:
Apalagi, pada saat yang sama, para konsumen telah menemukan efisiensi dan kenyamanan dari sistem belanja online. Pergeseran ini, dikombinasikan dengan pengalaman berbelanja yang berubah drastis di pusat perbelanjaan dan high street, menimbulkan pertanyaan tentang masa depan mal ritel di seluruh dunia.
Angka wisatawan yang turun drastis adalah faktor utama dalam penurunan penjualan merek high street. Di samping merek high street, produk bermerek mewah juga sangat rentan terhadap perubahan perilaku belanja.
Turis dari Cina daratan saja diperkirakan berkontribusi atas sekitar dua pertiga penjualan di Hong Kong dan sepertiga dari penjualan di kota-kota belanja Eropa, menurut penelitian HSBC, seperti yang dilaporkan oleh Business of Fashion. Bahkan, ketika pembatasan perjalanan mereda di seluruh Eropa dan bagian lain di dunia, tidak jelas apakah wisatawan akan bersemangat untuk menghabiskan liburan sambil belanja daripada melakukan kegiatan luar ruangan yang relatif aman, seperti berenang di pantai atau mengunjungi taman.
Meskipun konsumen saat ini belum memenuhi pusat perbelanjaan, masih ada yang memilih kembali ke toko. Tetapi, kebiasaan belanja terlihat sedikit berbeda dari sebelumnya. Para ahli mengatakan beberapa pekan pertama pascapembukaan kembali dapat membawa lonjakan penjualan karena keinginan belanja yang terpendam selama berpekan-pekan, di mana pembeli mungkin tidak bisa mendapatkan produk tertentu atau tidak ingin menunggu pengiriman. Itu berarti ujian yang sebenarnya akan datang setelah peritel melewati periode awal ini.
"Ketika itu terjadi, pengecer yang berhasil sukses dengan penjualan offline adalah mereka yang dapat menawarkan produk atau pengalaman yang tidak dapat ditemukan online," kata Paul Durkin, kepala ritel Inggris di perusahaan real estat komersial Cushman & Wakefield.
Tidak dipungkiri bahwa perubahan akan terjadi. Dalam beberapa skenario diperkirakan orang-orang akan tetap kembali ke High Street, meskipun bukan untuk berbelanja.
Para ahli memperkirakan di masa depan area High Street justru akan menjadi ruang yang vital untuk komunitas di sekitarnya, di mana mereka bersama-sama dapat menerapkan protokol kesehatan dengan aman, mendukung bisnis lokal, dan memanfaatkan jasa layanan esensial.
“Ini tentang melihat ruang dan berpikir secara kreatif, apa yang dibutuhkan masyarakat. Dan apa yang bisa kita buat yang komunitas akan gunakan?" kata pakar ritel independen yang berbasis di Inggris, Clare Bailey.
Dia menyarankan agar tempat-tempat ini digunakan sebagai pusat pengasuhan atau penitipan anak dan fasilitas co-working di tengah kebutuhan ruang yang mendesak setelah pandemi.