TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kesehatan yakin usulan untuk menambah prosentase Pictorial Health Warning ( PHW ) atau Peringatan Kesehatan Bergambar atau menjadi 90 persen pada bungkus rokok bisa tercapai. “Kami berupaya melakukannya karena itu merupakan suatu amanah yang harus kita capai bersama-sama,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi dalam webinar tentang Kawasan Tentang Rokok sebagai Basis membangun Ketahanan Sosial dalam Perspektif Revisi PP 109 Tahun 2012 di Jakarta, Selasa, 7 Juli 2020.
Oscara menjelaskan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan memang menginisiasi revisi Peraturan Pemeritah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamaan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Dalam satu bungkus rokok, selama ini peringatan Kesehatan Bergambar atau PHW selama ini baru 40 persen.
Jika dibandingkan dengan negara lain, ukuran PHW di Indonesia bisa dibilang paling kecil, bahkan di Asia Tenggara. Misalnya, Vietnam dan Filipina, PHWnya 50 persen, Malaysia 55 persen, Singapura 75 persen, India 85 persen, Myanmar 80 persen, Thailand 85 persen, dan Timor Leste 92,50 persen.
“Dalam roadmap kita membunyikan seperti itu. Dari sisi komitmen pemerintah tidak diragukan lagi,” ujarnmya.
Direktur Penyakit Tidak Menular Cut Putri Arianie mengatakan Kementerian Kesehatan tidak bekerja sendirian untuk mengegolkan target memperbesar PHW. “Kami melakukan advokasi ke kementerian lintas yang terkait. Misalnya, di Pendidikan, ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang KTR di sekolah,” ujarnya.
Menurut dia, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk melobi kementerian lain, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kemendikbud. “Kami ingin menggandeng Kementerian Dalam Negeri untuk mengawal implementasi KTR. Kolaborasi itu sudah dikoordinasi oleh Bapenas,” ucapnya.
Senior advisor Human Right Working Group, Rafendi Djamin mengusulkan agar koordinasi untuk revisi PP 109 ini tidak hanya dipegang oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan tapi juga kementerian lain agar prosesnya bisa cepat. “Saya lihat posisi kita sudah darurat pengendalian tembakau yang membutuhkan leadership, butuh panglima di tiap daerah. Tanpa panglima dan sanksi yang jelas, maka nilai pembangunan ini jadi sia-sia,” ujarnya.