TEMPO.CO, Jakarta - Online resiliation adalah salah satu keterampilan yang wajib ditanamkan orang tua sejak anak masih kecil sebab di era digital ini, banyak sekali tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya cyberbullying dan paparan konten-konten negatif.
Adapun, dengan online resiliation, anak dengan mudah menghadapi seluruhnya. Mereka mampu mengatasi situasi sulit, berbahaya, dan berisiko dalam dunia daring. Bahkan, mereka juga mampu menghadapi dan memulihkan kondisi psikologis usai mendapatkan pengalaman negatif saat beraktivitas daring.
Tak kalah penting, anak bisa lebih berdaya dalam menyaring dan merespons berbagai hal yang ditemui ketika berinteraksi dengan teknologi digital. Lalu, persiapan dan cara apa saja yang bisa diterapkan orang tua sebagai bentuk pengajaran online resiliation pada anak?
Ketua Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia (IPPI), Wiwin Hendriani, pun membagikan tips mudahnya. Pertama, ia mengimbau agar orang tua terlebih dulu mengenalkan anak pada berbagai risiko yang mungkin dihadapi di media sosial. Setidaknya, salah satu risiko yang paling sering ditemui adalah risiko konten.
“Anak harus dikenalkan dengan potensi risiko terlebih dulu supaya tahu apa yang bisa dilakukan jika dihadapi sungguhan. Risiko konten itu terjadi saat individu mengakses konten muatan negatif sehingga berpengaruh negatif. Orang tua bisa jelaskan contohnya, seperti pornografi dan konten hoaks,” katanya dalam webinar bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Selasa, 7 Juli 2020.
Setelah mengetahui risiko, orang tua bisa mulai melatih anak mengelola risiko dan mencari bantuan jika tidak bisa mengatasinya secara tepat. Menurut Wiwin, ada dua strategi yang bisa dilakukan, yakni coping komunikatif dan proaktif.
“Coping komunikatif artinya anak harus bisa berkomunikasi dengan orang tua jika ada sesuatu yang tidak benar ditemui dalam penggunaan teknologi. Sedangkan coping proaktif ditujukan agar mereka mampu bertindak tegas dalam menghindari maupun menghapus informasi yang memuat konten negatif itu,” ujarnya.
Terakhir, barulah anak-anak bisa diajarkan tentang mengelola pengalaman negatif apabila sudah terlanjur mengalami hal buruk. Cara mudahnya menurut Wiwin adalah dengan melatih regulasi emosi yang ditentukan berdasarkan empat zona, yakni biru, hijau, kuning, dan merah.
“Zona hijau paling baik, jadi anak tetap bahagia dan tujuan kita di sana. Tapi, kalau masuk zona biru yang ditandai dengan kesedihan, maka anak sebaiknya beristirahat dari medsos untuk sementara waktu. Kalau kuning biasanya anak mulai frustasi dan stres, medsosnya harus digunakan dengan batasan, dan zona merah yang penuh kemarahan tidak terkendali, medsos harus benar-benar distop,” katanya.