TEMPO.CO, Jakarta - Angka pernikahan dini di Indonesia semakin memprihatinkan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017, perkawinan anak usia sebelum 18 tahun telah mencapai 14,18 persen. Adapun angka tersebut meningkat menjadi 15,66 persen pada tahun 2018.
Dengan jumlah yang kian meroket, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo pun mengimbau agar orang tua dan guru bisa memberikan edukasi terkait pernikahan dini. Dalam merealisasikan hal tersebut, ia pun membagikan beberapa trik efektifnya.
Menurut Hasto, anak-anak wajib paham tentang berbagai risiko dan dampak yang bisa diterima akibat pernikahan dini. Salah satunya adalah kelahiran bayi yang sangat membahayakan calon ibu. “Calon ibu bisa mengalami robekan rahim dan pendarahan jika melahirkan terlalu muda atau di bawah usia 20 tahun,” katanya dalam webinar bersama BKKBN pada 21 Juli 2020.
Hasto menjelaskan bahwa risiko tersebut terjadi akibat panggul calon ibu belum siap untuk melahirkan. “Kepala bayi normal saat akan dilahirkan itu diameternya 9,7-9,9 dan idealnya panggul ibu itu ukurannya 10. Tapi kalau melahirkan sebelum 20 tahun, sudah pasti panggul belum 10 sehingga risiko kelahiran yang membahayakan ibu sangat besar,” katanya.
Edukasi lain yang bisa diberikan agar mencegah perkawinan dini adalah masalah osteoporosis di usia muda. Hasto mengatakan bahwa anak-anak hingga usia 19 tahun masih mengalami pertumbuhan tulang untuk semakin panjang dan padat. Sayangnya saat hamil di usia yang terlalu muda, kalsium akan diserap oleh bayi.
Baca Juga:
Artinya densitas tulang yang seharusnya masih bisa bertambah pada anak di usia dini harus dibagi dengan calon buah hati di dalam kandungan. "Akibatnya, anak-anak justru mengalami pengeroposan tulang atau osteoporosis dini. Sedangkan biasanya pengeroposan tulang terjadi di usia 30 tahun. Kalau sudah dini, bagaimana nasib tulang di usia 50 tahun?,” katanya.
Terakhir dan tak kalah penting, edukasi terkait risiko tinggi terjangkit kanker rahim juga bisa disampaikan. Hasto mengungkapkan bahwa mulut rahim diciptakan skematis dengan adanya squamous epithelial cell dan columnar cell. Menurutnya, pembagian keduanya akan imbang saat usia di atas 20 tahun.
“Kalau di bawah usia itu, columnar-nya masih di daerah epithelial dan berisiko tersentuh alat kelamin pria saat penetrasi. Padahal sentuhan itu bisa memperbesar kemungkinan seseorang untuk terjangkit kanker rahim,” katanya.
Dengan ketiga tips edukasi terkait berbagai risiko pernikahan dini, Hasto pun berharap agar ini efektif menurunkan jumlah anak-anak yang melakukan pernikahan di bawah usia 20 tahun. “Kalau masyarakat di beri pengertian tentang semua dampak buruk, seperti pendarahan, risiko kanker dan sebagainya, itu pasti akan membuat mereka berpikir ulang,” katanya.