TEMPO.CO, Jakarta - Warga lanjut usia memiliki risiko yang tinggi terhadap paparan virus corona. Bahkan, sebanyak 75 persen kematian pasien lansia COVID-19 adalah orang dengan demensia sebagai penyakit penyerta.
Berdasarkan penelitian kolaboratif antara London School of Economics dan University College of London di Inggris, secara global, sekitar 75 persen kematian pasien yang terpapar COVID-19 adalah orang dengan demensia sebagai penyakit penyerta (underlying condition). Usia merupakan faktor terbesar terkait dengan demensia dan golongan lansia memiliki risiko paling tinggi terhadap paparan COVID-19, dengan 86 persen kematian terjadi pada golongan usia 65 tahun ke atas.
"Kondisi pandemi COVID-19 yang berlangsung saat ini juga membuat banyak orang rentan kesepian, kecemasan, dan depresi, tak terkecuali ODD (orang dengan demensia) dan caregivers," kata Direktur Regional Alzheimer Asia Pasifik sekaligus Penggagas Yayasan Alzheimer Indonesia, DY Suharya dalam webinar "Pandemi, Kesehatan Mental dan Demensia" pada Jumat, 4 September 2020.
Ahli saraf dan Dekan UNIKA Atma Jaya, Dr. dr. Yuda Turana SpS., mengatakan selama masa pandemi dan kenormalan baru membuat orang dengan demensia dan caregiver atau pengasuhnya memiliki tantangan yang lebih besar, khususnya dalam hal adaptasi.
"Situasi yang normal saja sulit, sekarang harus beradaptasi dengan kebiasaan baru, tentu ini menjadi tantangan besar. Risiko terkena COVID-19 besar, apalagi ada tambahan demensia, orang dengan demensia imunnya lebih turun," kata Yuda.
Orang dengan demensia memiliki gangguan kognitif dan perilaku sehingga tidak bisa mengungkapkan perasaan atau rasa sakit yang dialami. Jika terpapar COVID-19, orang dengan demensia akan terlambat terdeteksi dan berakibat fatal.
"Orang demensia sulit untuk mengungkapkan perasaan dan sakit. Gejala COVID kan enggak cuma demam, screening di mal itu hanya menyisihkan 20 persen gejala saja, sisanya tidak spesifik," ujar Yuda.