TEMPO.CO, Jakarta - Di masa pandemi Covid-19, pasien tuberkulosis alias TBC semakin sulit mendapatkan pendampingan dalam pengobatan mereka. Maklum, pada masa wabah ini, ada beberapa orang yang takut untuk datang ke layanan kesehatan terdekat demi mendapatkan obat wajib mereka. Bila pengobatan TBC tidak dilakukan secara berkala dan sesuai jadwal, pasien akan resisten pada obat tuberkulosis (TB RO) dan kondisi pasien akan semakin parah.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengingatkan bahwa Presiden Joko Widodo sudah mencanangkan Gerakan Bersama Menuju Eliminasi TBC 2030. Untuk mencapai target itu, semua orang harus bekerja sama melakukan aksi. Saat ini, kata Siti, pemerintah baru menemukan 564 ribu dari 845 ribu kasus TBC. Bahkan jumlah TBC RO pun meningkat. Ia pun mengajak para pihak untuk mengevaluasi upaya dan mengejar eliminasi TBC 2030. "Sejak pandemi, Subdit TB sudah mengeluarkan protokol supaya layanan TBC terus berjalan. Obat dapat diberikan dalam interval waktu yang lebih lama untuk mengurangi kontak fisik di layanan tetapi tentu ada tantangan dalam akses pendampingan secara virtual karena akses. Kolaborasi ini adalah terobosan untuk mendukung ketaatan pengobatan pasien TBC RO di masa pandemi,” katanya pada 16 September 2020.
Pada tahun 2018, dunia menanggung beban 10 juta orang jatuh sakit TBC dan Indonesia, menurtu data WHO pada 2018, berkontribusi sekitar 10 persen dari beban tersebut atau berjumlah 845 ribu. Situasi tersebut semakin berat, ketika lebih dari 200 negara di dunia dan termasuk Indonesia terimbas pandemi Covid-19. Informasi yang dilansir di covid.19.go.id menunjukkan setiap hari jumlah orang yang terjangkit Covid-19 di Indonesia terus meningkat.
Peningkatan tersebut berdampak pada kemampuan sumber daya kesehatan untuk penanggulangan penyakit lainnya. Salah satu dampaknya pada penanggulangan TBC adalah dalam memastikan pasien berobat sampai tuntas. Stop TB Partnership Indonesia (STPI) memberikan dukungan hibah smartphone untuk 200 pasien dan 20 pendamping pasien TBC RO melalui perkumpulan organisasi pasien TBC atau POP TB Indonesia yang berkolaborasi dengan Lembaga Kesehatan Nahdhatul Ulama (LKNU) dalam membangun program penguatan pendampingan pasien TBC RO secara virtual di masa pandemi Covid-19.
Dalam pembukaan ‘Kick-Off Program Penguatan Pemantauan Kepatuhan Pengobatan Pasien TBC RO’, Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia, Heny Akhmad mengatakan keberhasilan pengobatan TBC RO saat ini berada 50 persen. Jumlah itu beresiko menurun jika pasien putus pengobatan di masa pandemi karena tidak menerima dukungan psikososial. "Mereka yang putus pengobatan juga dapat menjadi sakit XDR-TB yang lebih sulit diobati. Kolaborasi ini merupakan wujud solidaritas antar organisasi masyarakat sipil kepada masyarakat yang terdampak TBC RO di Indonesia,” kata Heny.
Kepala Subdirektorat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Imran Pambudi menjelaskan di Indonesia, ada 23 ribu pasien TBC RO baru setiap tahun. Tetapi baru setengahnya ditemukan. Bahkan, jumlahnya yang memulai pengobatan jauh lebih sedikit lagi. Di masa pandemi ini, ada 91 pasien TBC sedang dirawat karena COVID-19. Dari informasi di tingkat provinsi, diketahui 35 pasien TBC meninggal karena COVID-19. "Perpres TBC yang sedang disiapkan dengan peningkatan anggaran untuk TBC di 2021. Kita harus berupaya menurunkan insiden dan kematian karena TBC meskipun pelayanan kesehatan sangat terdampak COVID-19. Sangat penting untuk memanfaatkan teknologi digital seperti aplikasi dalam memastikan pasien tetap berobat,” kata Imran.
Ketua POP TB Indonesia Budi Hermawan mengatakan teknologi smartphone diberikan dalam memantau pengobatan kasus pasien TBC ini. Kriteria penerima bantuan hibah smartphone ini adalah pasien TBC RO baru dan pasien yang tidak memilikki sarana yang sangat dibutuhkan di masa pandemi COVID-19. Kolaborasi ini diharapkan menjaga kepatuhan pasien berobat di masa pandemi COVID-19. Smartphone ini akan dipinjamkan kepada pasien dari organisasi pasien PETA (Jakarta), PANTER (Malang), TERJANG (Jawa Barat), dan REKAT (Surabaya). "Artinya, sarana ini adalah asset bersama komunitas pasien TBC RO. Dengan dukungan ini kami berharap menerima lebih banyak umpan balik dari pasien-pasien TBC RO tentang kendala mengakses layanan kesehatan melalui aplikasi OneImpact Sehat”, menurut
Senior Technical Advisor Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama Esty Febriani menyampaikan pentingnya umpan balik dari pasien untuk meningkatkan kualitas program TBC. Aplikasi OneImpact Sehat yang disediakan di smartphone akan digunakan sebagai wadah untuk mendengar tanggapan dari orang terdampak TBC. Hal ini agar kita dapat menanggapi kebutuhan pasien berdasarkan umpan balik mereka. "Ketika ada kendala-kendala di layanan atau pendampingan yang terekam di aplikasi, hasilnya dapat kita advokasi guna meningkatkan ketersediaan, akses, penerimaan, serta kualitas program TBC," kata Esty.