TEMPO.CO, Jakarta - Terjadinya kekerasan pada anak oleh orang tuanya mengingatkan pentingnya kesehatan jiwa bagi keluarga di masa pandemi. Untuk itu, dukungan dari semua pihak, dimulai dari lingkaran terdekat dibutuhkan untuk mendeteksi dan mencegah terjadinya kekerasan pada anak.
Beberapa waktu lalu, polisi mengungkap kasus meninggalnya seorang anak berusia 8 tahun akibat dianiaya oleh ibunya di Kota Tangerang. Ibunya melakukan hal itu karena anaknya sulit memahami pelajaran ketika belajar secara daring.
Faith and Development Manager Wahana Visi Indonesia (WVI) Anil Dawan mengatakan, kekerasan kepada anak dalam masa pandemi sebenarnya mengonfirmasi temuan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bahwa lebih dari 90 persen keluarga mengalami stres. Kesehatan jiwa dalam masa pandemi seolah luput dari perhatian dan intervensi bantuan dan dukungan psikososial. Keluarga terutama orang tua dan anak-anak perlu mendapatkan dukungan dalam prinsip lingkaran ekologi seperti lembaga masyarakat, lembaga agama, dan semua pemangku kebijakan. “Penggunaan bahasa cinta adalah keterampilan yang perlu dipahami orangtua sehingga mampu membangun komunikasi yang baik ditengah keluarga. Mengembangkan resiliensi yang dibangun dari nilai-nilai luhur iman dan agama perlu terus dihidupkan karena bisa mencegah perilaku kekerasan,” ujar Anil.
Selain itu, saluran konseling atau curhat online perlu dimaksimalkan sehingga orang tua punya teman belajar dan sahabat berbagi sehingga tak merasa sendiri dalam mengasuh anak-anaknya. Pemimpin agama dan para psikolog-psikolog perlu dilibatkan dalam upaya-upaya intervensi ini.
Psikolog dari Universitas Soegijapranata Semarang yang juga partner WVI, Kuriake Kharismawan, mengatakan, banyak orangtua tidak bisa mengelola emosi karena dikuasai oleh rasa takut. “Rasanya ini yang jadi masalah para orang tua saat ini. Takut kata orang, takut pada keluarga besar kalau anak tidak pintar, takut akan masa depan anak, hingga takut tidak bisa memenuhi kebutuhan karena pandemi. Hal ini kemudian diekspresikan tanpa mengontrol diri,” kata Kuriake.
Ketika orang tua tidak bisa mengelola rasa takut, yang akan muncul kemudian adalah penyesalan. Oleh karena itu, orang tua sedapat mungkin bisa mengukur kapan dirinya mulai merasa cemas dan takut, ingin marah. Orang tua harus mundur sejenak, menarik nafas dan menenangkan diri untuk mengendalikan emosi. “Terkadang, apa yang ditakutkan itu sesuatu yang tidak realistis. Misalnya, takut akan masa depan anak hancur jika nilainya jelek. Padahal, anak tinggal kelas pun belum tentu masa depannya hancur,” kata Kuriake.
Oleh karena itu, orang tua tidak perlu memaksakan diri atau anak, jika tidak dapat memenuhi sebuah kriteria tertentu, terutama di masa pandemi ini di saat segala aktivitas serba terbatas. Orang tua pun perlu memilah hal apa saja yang menjadi prioritas dan hal apa yang dapat dilepas atau diikhlaskan. Misalnya, dengan mencermati pelajaran anak, orang tua tidak perlu memaksakan anak harus mendapat nilai sempurna di semua pelajaran. Hal ini akan membuat beban orangtua sedikit berkurang.
Selain itu, dukungan komunitas juga penting, terutama bagi orangtua yang mungkin mengalami kesulitan ekonomi. Karena itu, komunitas terdekat harus ikut peka dan memerhatikan siapa saja yang mungkin tengah mengalami kesulitan, dan segera menolong. Hal ini penting agar orangtua yang kesulitan tidak lagi mengalami ketakutan.
WVI telah meluncurkan buku saku berisi panduan psikososial untuk guru dan orang tua yang dapat diunduh di laman https://www.wahanavisi.org/id/media-materi/publikasi.html. WVI juga mengadakan talkhow online dan webinar tentang pengasuhan dengan cinta untuk para orangtua agar dapat mendampingi anak dengan baik selama pandemi Covid-19.