TEMPO.CO, Jakarta - Perusahaan di bidang teknologi kesehatan, Royal Philips, mengumumkan temuan studi yang dilakukan di 15 negara bertema Future Health Index (FHI). Studi ini menunjukkan dedikasi dan komitmen generasi muda tenaga kesehatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di tengah pandemi dan menyoroti pengalaman serta tantangan yang menunjukkan perlunya perubahan lebih besar dalam pelayanan kesehatan.
Di tahun ke-limanya, survei tahun ini menjadi studi pertama yang mengangkat generasi muda tenaga kesehatan profesional berusia di bawah 40 tahun. Future Health Index (FHI) 2020 report: berjudul ‘Era Kesempatan: Memberdayakan generasi penerus untuk mengubah dunia pelayanan kesehatan’ ini menggambarkan sistem kesehatan menjelang krisis pandemi COVID-19 secara realistis. Riset ini mencakup 3 ribu responden yang berasal dari 15 negara dari seluruh dunia.
Studi ini menyoroti tenaga kesehatan muda di tiap negara yang akan memikul tanggung jawab memetakan kebutuhan masa depan sektor pelayanan kesehatan di negara mereka. Hasil temuan menunjukkan sikap dan keyakinan dan etos kerja luar biasa yang dimiliki para tenaga kesehatan terhadap pekerjaannya, kesenjangan antara pelatihan medis dan praktik aktual, serta pandangan optimis mereka untuk masa depan pelayanan kesehatan digital. Berdasarkan survei lanjutan beberapa bulan setelah pandemi, perspektif ini semakin diperkuat oleh pengalaman mereka menangani COVID-19 dalam beberapa bulan terakhir.
Salah satu dari tiga temuan FHI 2020 adalah soal para dokter muda di Asia Pasifik yang percaya pada penggunaan teknologi kesehatan dalam memberikan perawatan mereka.
Dengan fokus dan investasi negara-negara Asia-Pasifik menuju digitalisasi layanan kesehatan, ditemukan bahwa tenaga kesehatan muda lebih yakin pada potensial data dan teknologi untuk meningkatkan pengalaman mereka dan pasien yang mereka rawat.
Mereka melihat ada banyak manfaat teknologi kesehatan seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan telehealth untuk mentransformasi layanan kesehatan, terutama selama pandemi. Hampir 9 dari 10 dokter muda setuju bahwa teknologi kesehatan digital yang tepat memiliki potensi menurunkan beban kerja mereka. 77 persen dokter muda itu juga mengatakan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan pengalaman pasien. Selanjutnya sebanyak 76 persen dokter muda mengatakan bahwa adopsi teknologi kesehatan digital dapat menurunkan tingkat stres yang dokter muda alami.
Untuk Indonesia, teknologi seperti ini dapat menjadi pilar transisi skala besar menuju teknologi pelayanan kesehatan berbasis digital. Selain itu, keberadaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), big data, dan inovasi dalam smart patient monitoring (teknologi pintar untuk memonitor pasien) menawarkan kesempatan meningkatkan kualitas dan kecepatan layanan kesehatan. Selama pandemi ini, percepatan adopsi telemedis digunakan tidak hanya untuk memperluas jangkauan pelayanan ke luar rumah sakit untuk pasien, tetapi sekaligus mengurangi risiko infeksi pada petugas kesehatan dan pasien.
Dokter spesialis radiologi muda di RSUP Sardjito Yogyakarta, Nurhuda Hendra Setyawan, menyoroti bagaimana percepatan adopsi teknologi digital dapat mempermudah pekerjaan tenaga kesehatan yang semakin menumpuk, terlebih saat ini beberapa rumah sakit menerapkan sistem shift untuk menurunkan potensi terpapar virus COVID-19.
“Di saat kita harus membatasi kontak dengan pasien dan rekan tenaga kesehatan lainnya, teknologi pelayanan kesehatan digital seperti telehealth dan telemedis dapat sangat membantu pekerjaan kami, seperti distribusi beban kerja layanan radiologi kepada tenaga kesehatan yang tidak harus datang langsung ke rumah sakit,” kata Nurhuda.
Pemimpin Marketing Philips ASEAN dan Pasifik, Caroline Clarke, mengatakan penggunaan teknologi dalam perawatan medis bisa memberikan diagnosa yang lebih akurat untuk pasien.
Tentu saja untuk meningkatkan perawatan kesehatan berbasis teknologi ada pula tantangannya, seperti infrastruktur dan ongkos yang mahal. "Memang infrastruktur seperti cakupan internet di Indonesia masih terbatas. Namun membangun infrastruktur itu bisa menjadi investasi demi efisiensi. Teknologi perawatn medis, seperti telemedcine adalah solusi yang bagus. Apalagi untuk kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau," kata Clarke.
Clarke menambahkan para tenaga kesehatan muda saat ini memikul tanggung jawab untuk mengubah masa depan pelayanan kesehatan, tetapi banyak yang masih merasa pendapat mereka tidak didengar. Para tenaga kesehatan muda ini pun mengalami kendala dalam aspek non-klinis dalam praktik, dan mengalami stres sebagai akibat dari dedikasi mereka dalam merawat pasien.
COVID-19 telah mengungkap celah dan peluang untuk perubahan dalam pelayanan kesehatan. "Hal yang perlu kita garisbawahi adalah memelihara dan memberikan dukungan, platform dan adopsi teknologi digital yang memadai untuk memberdayakan para tenaga kesehatan agar dapat bekerja lebih efektif demi masa depan pelayanan kesehatan yang lebih baik," kata Clarke.
Sejak 2016, Philips melakukan riset untuk membantu menentukan kesiapan negara-negara menghadapi tantangan global dan membangun sistem perawatan kesehatan yang efektif dan efisien. Untuk detail metodologi Future Health Index dan akses laporan FHI 2020 lengkap, termasuk riset ‘Future Health Index Insights: COVID-19 dan Tenaga Kesehatan Muda’, kunjungi situs https://www.philips.com/a-w/about/news/future-health-index.