TEMPO.CO, Jakarta - Perokok anak umumnya mengaku tergiur merokok karena mencoba, terkena bujuk rayu teman, atau berada lingkungan perokok. Amat jarang perokok anak yang menyatakan merokok karena melihat iklan.
Ketua Yayasan Kakak, Shoim Sahriyati mengatakan implikasi dari iklan rokok memang tak secara langsung atau menjadi pemicu yang kasat mata sehingga membuat seorang anak menjadi perokok. "Tapi iklan rokok itu mempengaruhi preferensi anak dalam memilih jenis rokok," kata Shoim dalam konferensi pers daring bertajuk 'Darurat Perokok Anak' pada Kamis, 5 November 2020.
Ketika melihat iklan rokok, Shoim menjelaskan, anak juga merasa penasaran terhadap tentang apa saja yang tertulis atau tergambarkan tentang produk itu. "Saat rasa penasaran sudah tumbuh, tinggal tunggu saatnya dia akan mencoba," ucap Shoim. "Apa yang dilihat akan mempengaruhi anak dalam membuat keputusan."
Dalam kajian Yayasan Lentera Anak berjudul 'Perokok Anak Terus Meningkat, Kita Mau Apa? pada 2020, tertulis bahwa iklan atau promosi dari industri rokok bertujuan menormalkan produk dan mengaburkan bahaya rokok karena citra yang dibuat bertolak belakang dengan dampak rokok. Penanaman kesan mengenai rokok dilakukan dengan cara yang halus, masuk ke alam bawah sadar dengan tanpa terasa.
Metode iklan rokok seperti itu disebut strategi 'subliminal advertising'. Ini adalah pesan atau stimulus yang diserap oleh persepsi dan alam otak bawah sadar, yang diterima melalui medium gambar yang diulang-ulang. Dari berbagai penelitian, subliminal marketing terbukti meningkatkan penjualan produk.
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan prevalensi perokok anak usia 10 sampai 18 tahun terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2013 tercatat sebanyak 7,2 persen dan menjadi 9,1 persen pada 2018. Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Seto Mulyadi mengatakan Indonesia sudah berada dalam kondisi darurat perokok anak.
Selain ditandai dengan prevalensi perokok anak yang terus meningkat dari tahun ke tahun, iklan, promosi, dan sponsor rokok juga sangat massif menyasar anak. "nak-anak sudah menjadi korban dari eksploitasi industri rokok yang terus menyasar anak sebagai basis konsumen jangka panjang," kata Seto Mulyadi. "Karena semakin dini usia merokok, akan makin besar juga keuntungan bagi perusahaan rokok."
Industri rokok, Seto Mulyadi menambahkan, menyasar anak melalui strategi iklan yang gencar, menonjolkan tema kreatif, gaul, keren, modern, dan hebat, agar dapat mempengaruhi anak untuk mencoba merokok dan mendorongnya terus merokok. Survey LPAI 2019 terkait perilaku anak merokok menunjukkan sebanyak 73 persen anak merokok diawali dengan melihat iklan, promosi dan sponsor rokok di sekitar lingkungannya.
Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari menambahkan, angka perokok anak tak kunjung turun karena tiada aturan yang jelas. Salah satu langkah signifikan yang harus dilakukan saat ini adalah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. "Kalo revisi peraturan ini terus tertunda, maka tujuan baik kita untuk anak-anak tidak akan berpengaruh apa-apa," ucapnya.
Lisda Sundari menjelaskan, semua elemen masyarakat telah berupaya sekuat tenaga untuk mengerem angka perokok anak. Mulai dari edukasi, sosialisasi, hingga rehabilitasi bagi perokok anak. Hanya saja, jumlah perokok anak justru terus bertambah. "Yang kita tunggu adalah keseriusan negara untuk membuat regulasi yang lebih tegas," katanya.
Revisi peraturan pemerintah itu penting untuk menguatkan beberapa hal, di antaranya siapa yang mengawasi dan berwenang menjatuhkan hukuman bagi mereka yang menjual rokok kepada anak, larangan menjual rokok ketengan, tidak ada larangan iklan rokok dalam bentuk yang terselubung maupun yang terang-terangan. "Juga soal pelarangan sponsor rokok, peringatan larangan merokok di ruang terbuka, serta penegakan hukum yang tegas," ujarnya.