TEMPO.CO, Jakarta - PPOK atau penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit yang ditandai gejala sesak napas persisten, keterbatasan aliran udara dan batuk berdahak. Pada beberapa kasus, pasien juga mengalami penurunan berat badan, kelelahan, nyeri dada, batuk berdarah, yang merupakan tanda kondisi lain seperti infeksi atau kanker paru.
Kondisi ini terjadi ketika paru-paru dan saluran udara menjadi rusak dan meradang. Penyebabnya, bisa berhubungan dengan paparan jangka panjang terhadap zat berbahaya, seperti asap rokok (90 persen), paparan jenis debu, dan bahan kimia tertentu di tempat kerja yang dapat merusak paru-paru, polusi udara, hingga genetika. Pakar menyebutkan walau sama-sama menyerang saluran pernapasan, ada gejala yang membedakan antara PPOK dan COVID-19.
"Tidak ada demam (pada PPOK), yang paling bahaya karena faktor usianya sama. Kalau COVID-19, semakin tua maka angka mortalitasnya juga semakin tinggi, sedangkan PPOK biasanya pada usia di atas 50 tahun. Kalau dia kena COVID-19, angka kemungkinan dia meninggal juga tinggi," ujar dokter spesialis paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Cabang Jakarta, Budhi Antariksa.
Selain itu, PPOK tak seperti COVID-19, yang ditandai batuk tetapi kebanyakan tidak berdahak, nyeri otot, gangguan penciuman, pada beberapa kasus pasien juga mengalami diare, nyeri perut, dan infeksi saluran kemih. Menurut Budhi, gejala PPOK hanya terbatas pada daerah pernapasan dan jika sesak napas lalu tidak terjadi perubahan hebat kemungkinan tidak disertai COVID-19.
Untuk memastikan diagnosis, dokter biasanya menyarankan rontgen, pemeriksaan laboratorium, menggunakan alat spirometri untuk memeriksa dahak, kuman atau jamur, hingga analisa gas darah kalau terjadi sesak hebat. Pada yang terkena PPOK, gambaran pada hasil rontgen menunjukkan warna lebih hitam karena banyak udara terperangkap dalam paru-paru (akibat merokok), diafragma mendatar, dan bentuk jantung seakan memanjang dan menjadi langsing karena parunya mengembang namun banyak udara yang terperangkap.
"Karena ini zamannya COVID-19, kita harus hati-hati. Biasanya kita lakukan tes PCR, pemeriksaan laboratorium, dan rontgen kembali. Anjurannya orang dengan PPOK di masa pandemi COVID-19 tetap di rumah, lakukan 3M karena riskan terkena COVID-19," jelasnya.
Budhi menuturkan pada yang merokok, penurunan fungsi paru bisa mencapai 50-80 mililiter per tahun, jauh lebih tinggi dibanding yang tidak merokok, yakni 10-30 ml seiring pertambahan usia. Hal ini bisa berpengaruh pada kondisi tubuh yang bisa sangat menurun, bahkan mengharuskannya beraktivitas menggunakan kursi roda dan tabung oksigen.
PPOK termasuk penyakit kronik sebagai penyebab sakit dan kematian urutan keempat di dunia. Penyakit ini membuat penderitanya lebih mungkin terkena stroke dan penyakit kardiovaskular lain.
Menurut Budhi, orang dengan PPOK cenderung masih bisa bertahan hingga usia tua namun aktivitas terbatas sehingga kemungkinan bekerja atau mencari nafkah sangat sulit. Di sisi lain, mereka juga harus mengonsumsi obat-obatan untuk mengusahakan fungsi paru bisa lebih baik, walau angka kesembuhannya tergolong sangat jarang.
"Angka kesembuhan jarang sekali, kita hanya bisa menyetop merokok dan agar penurunan fungsi paru tidak securam kalau dia merokok," kata Budhi.
Obat-obatan ini tak hanya satu dan ada di antaranya bisa menghabiskan biaya Rp 600-1 juta per bulan. Belum lagi bila pasien mengalami serangan sesak di masa pengobatan, biaya yang dikeluarkan juga akan lebih besar.
Di Indonesia, prevalensi PPOK (tanpa menggunakan spirometri) berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan angka di atas 3,7 persen pada sejumlah daerah, antara lain Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi.
"Lebih banyak yang laki-laki karena mungkin lebih banyak yang perokok, dahaknya banyak, ada suatu proses pada saluran napas yang cenderung terjadinya penyempitan saluran napas. Selain merokok, juga polusi meningkatkan terjadinya PPOK," kata Budhi.
*Ini merupakan konten kerja sama Tempo.co dengan #SatgasCovid-19 demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Tegakkan protokol kesehatan, ingat selalu #pesanibu dengan #pakaimasker, #jagajarakhindarikerumunan, dan #cucitanganpakaisabun.