TEMPO.CO, Jakarta - Permohonan dispensasi kawin meningkat di pengadilan agama dalam masa pandemi Covid-19. Dispensasi kawin adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah meski belum mencapai batas minimum usia pernikahan. Batas minimun usia pernikahan yang diatur dalam revisi Undang-undang Perkawinan adalah 19 tahun untuk calon mempelai laki-laki maupun perempuan.
Menyoroti maraknya permohonan dispensasi kawin, komisioner purnabakti Komisi Nasional Perempuan, Sri Nurherwati mengatakan ada beberapa hal yang harus dicermati oleh hakim yang menangani permohonan ini. Kendati Mahkamah Agung telah menerbitkan peraturan Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, Sri Nurherwati menganggap hakim perlu mengidentifikasi lebih jauh permohonan tersebut agar hak-hak anak tetap terpenuhi.
"Yang terpenting adalah hakim memahami makna perkawinan," kata Sri Nurherawati dalam diskusi daring 'Bicara Tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan di Indonesia bersama Gerakan Perempuan Peduli Indonesia pada Sabtu, 28 November 2020. Ketika menangani permohonan dispensasi kawin, menurut dia, hakim harus memberikan informasi kepada calon mempelai dan orang tua anak.
"Hakim harus memastikan apakah perkawinan ini akan menghilangkan hak anak atau tidak? Tanyakan kepada anak, apakah mereka siap dengan segala konsekuensinya? Sebab perkawinan memiliki risiko yang panjang," ucap Sri Nurherwati. "Hakim harus memastikan hak anak tetap terpenuhi."
Hak anak di sini, menurut Sri Nurherwati, bukan hanya hak pendidikan, namun juga kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup, sampai kasih sayang. Mengutip data UNICEF, Sri melanjutkan, hanya 35 persen permohonan dispensasi kawin yang disebabkan hubungan seksual sebelum nikah. Sisanya, 65 persen permohonan dispensasi kawin merupakan bentuk kekhawatiran orang tua terhadap hubungan atau interaksi anak mereka dengan lawan jenis.
Seorang anak membawa poster saat aksi peringatan Hari Perempuan Internasional di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu, 8 Maret 2020. Aksi tersebut untuk mensosialisasikan pencegahan perkawinan anak guna menekan angka perkawinan usia dini yang masih marak terjadi. ANTARA
Dalam menangani permohonan dispensasi kawin, dia menambahkan, pengadilan dapat melibatkan Pusat Pembelajaran Keluarga atau Puspaga yang ada di setiap daerah. Sri Nurherwati melanjutkan, perlu diketahui juga bahwa dispensasi kawin bukan hanya perkawinan anak dengan anak, namun juga ada potensi perkawinan anak dengan orang dewasa.
Sri Nurherwati menjelaskan kembali perkara tokoh agama yang menikahi seorang anak perempuan beberapa waktu lalu. Di tingkat pengadilan negeri, orang tersebut dinyatakan bersalah karena mengawini anak. Sementara di tingkat kasasi dia bebas meski ada dissenting opinion atau perbedaan pendapat oleh hakim. Orang itu bebas karena hakim membenturkan aturan hukum dengan norma agama.
"Tidak ada persetubuhan ataupun iming-iming karena anaknya mau kok. Kalau persetujuan dalam perkawinan dipidana, maka itu bertentangan dengan agama. Dan persetubuhan dalam perkawinan tidak bisa dikriminalisasi," demikian Sri Nurherwati menjelaskan alur pertimbagan hakim kasasi. Padahal itu jelas tindak pidana dan melanggar undang-undang perlindungan anak.
Sebab itu, Sri Nurherwati mengatakan yang penting adalah pemahaman tentang apa itu perkawinan anak. "Kalau tidak dipahami dengan baik, justru akan menyuburkan perkawinan anak," kata dia. Selain memahami kembali apa itu perkawinan anak, beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menekan angka perkawinan anak adalah mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS dan menjernihkan terminologi atau makna zina dalam Rancangan Undang-undang KUHP.