TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah perusahaan farmasi berlomba membuat vaksin Covid-19. Ada Sinovac dari Cina; Pfizer, Moderna, Johnson & Johnson, dan Novavax dari Amerika Serikat; GlaxoSmithKline, AstraZeneca - Universitas Oxford dari Inggris; Sanofi dari Prancis; BioNTech (Jerman); dan banyak lagi.
Pemerintah telah membeli vaksin Sinovac dari Cina serta memesan vaksin AstraZeneca dari Inggris dan vansin Novavax dari Amerika Serikat. Vaksin Sinovac sebanyak 125 juta dosis serta vaksin AstraZeneca dan vaksin Novavax, masing-masing 50 juta dosis.
Pemerintah Inggris telah memesan 100 juta dosis vaksin AstraZeneca. Perusahaan farmasi membuat vaksin bersama peneliti dari Universitas Oxford. "Kami menyediakan vaksin untuk seluruh dunia," kata Andrew Pollard, Direktur Vaksin Universitas Oxford, Inggris.
AstraZeneca mengklaim vaksin Covid-19 buatannya 70 persen efektif dalam sebuah uji coba, bahkan hingga 90 persen. Vaksin ini disebut-sebut bisa dibuat lebih murah, lebih mudah didistribusikan, dan lebih cepat diproduksi.
Produsen obat asal Inggris itu menyatakan bahwa mereka memiliki 200 juta dosis pada akhir 2020, sekitar empat kali lebih banyak dari pesaingnya, Pfizer Inc. Sebanyak 700 juta dosis disiapkan secara global pada akhir kuartal pertama tahun ini.
Keranjang belanja kecil berisi botol berlabel "COVID-19 - Coronavirus Vaccine" dipasang pada bendera AS dalam ilustrasi yang diambil pada 29 November 2020.[REUTERS / Dado Ruvic / Ilustration]
Vaksin tersebut rata-rata mencegah 70 persen kasus Covid-19 dalam uji coba tahap akhir di Inggris dan Brasil. Tingkat keberhasilan meningkat menjadi 90 persen pada peserta uji coba yang menerima setengah dosis diikuti dengan dosis penuh.
Tingkat kemanjuran menjadi sebesar 62 persen jika dosis penuh diberikan dua kali, seperti pada kebanyakan peserta penelitian. AstraZeneca menyatakan tidak ada masalah kesehatan serius pada peserta uji coba. Namun hanya sedikit data uji coba yang diberikan.
Minimnya data hasil uji coba yang dipublikasikan membuat banyak kalangan meragukan efektivitasnya dibanding produk pesaing. Bahkan ada kemungkinan butuh waktu lebih lama untuk mendapatkan persetujuan peraturan dari badan kesehatan di Amerika Serikat.
AstraZeneca juga mengklaim vaksinnya berbiaya murah, hanya beberapa dolar per suntikan. Harganya jauh lebih murah bila dibandingkan dengan harga vaksin Pfizer dan Moderna, yang menggunakan teknologi baru yang lebih kompleks. Vaksin AstraZeneca juga dapat diangkut dan disimpan pada suhu lemari es bisaya, yang membuatnya lebih mudah didistribusikan dibanding produk Pfizer, yang harus disimpan pada suhu -70 derajat Celsius.
Keampuhan vaksin AstraZeneca hingga 90 persen didapati secara tak sengaja. Perusahaan mencatat sempat mengalami kesalahan dosis selama uji coba. Namun ternyata efektivitasnya jauh lebih tinggi dibanding 62 persen, yang masih cukup untuk mendapat persetujuan. Kepala Eksekutif AstraZeneca, Pascal Soriot, mengatakan dosis awal yang lebih kecil berarti persediaan yang terbatas dapat menjangkau lebih jauh untuk memvaksinasi lebih banyak orang.
Ilustrasi Vaksin Covid-19. REUTERS/Dado Ruvic
Kepala ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, Soumya Swaminathan, mengatakan WHO sangat ingin melihat data keamanan lengkap dan mendorong pengembang vaksin lainnya melakukan hal serupa. "Kami harus melindungi miliaran orang," kata Swaminathan. "Kami membutuhkan semua kapasitas manufaktur di dunia untuk melakukan itu."
Analis kesehatan dari SVB Leerink mengatakan AstraZeneca belum membuka informasi yang cukup tentang tingkat keselamatan yang menyebabkan jeda dalam uji coba fase ketiga. Leerink mencatat hanya sejumlah kecil orang yang menerima dosis pertama yang lebih kecil.
Analis Leerink, Geoffrey Porges, mengatakan vaksin itu tidak mungkin diterima di Amerika Serikat. Sebab, uji coba yang dilakukan belum memenuhi persyaratan di sana untuk orang tua dan populasi berisiko tinggi lainnya.
Vaksin AstraZeneca menggunakan versi modifikasi dari virus flu simpanse untuk menyampaikan instruksi kepada sel guna melawan virus target. Pendekatan ini berbeda dengan yang digunakan Pfizer dan Moderna, yang mengandalkan teknologi baru yang dikenal sebagai messenger RNA (mRNA).
SCIENCE DAILY | REUTERS