TEMPO.CO, Jakarta - Vaksin Covid-19 diberikan dua kali dengan jeda sekitar dua minggu atau tergantung jenis vaksin. Kementerian Kesehatan telah menegaskan jarak pemberian pertama vaksin Covid-19 ke suntikan kedua untuk vaksin Sinovac 14 hari.
Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (PP Peralmuni) Iris Rengganis mengatakan suntikan vaksin Covid-19 buatan Sinovac harus dilakukan dua kali agar dapat memastikan vaksin tersebut efektif dalam membentuk antibodi. Dia menyatakan vaksin Covid-19 ini bersifat mematikan virus sehingga tidak dapat berkembang biak. Namun, bukan berarti jika sudah disuntik sekali maka tidak akan tertular virus corona.
Pada jeda antara vaksin pertama dan kedua, penerima vaksin harus tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan karena antibodi belum secara penuh terbentuk.
“Jangan sampai berpikir orang sudah sekali vaksin lalu sudah aman, tidak menerapkan 3M lagi. Belum vaksin kedua, dia sudah tertular,” kata Iris.
Banyak yang bertanya bagaimana jika terlewat vaksinasi Covid-19 kedua, apakah akan menimbulkan masalah bagi tubuh?
Profesor imunologi Universitas Surrey, Deborah Dunn-Walters, mengatakan uji coba praklinis terhadap penerima vaksin akan menunjukkan satu kali suntikan tidak cukup untuk membangun kekebalan.
"Jadi, masyarakat memilih keduanya," kata Dunn-Walters, dikutip dari BBC.
Demikian pula selama uji coba fase ketiga untuk sejumlah vaksin telah terdeteksi ada lebih banyak antibodi dan sel T dalam darah setelah dua dosis daripada setelah satu dosis.
Kepala eksekutif Pfizer, Albert Bourla, pada Desember 2020 menegaskan akan menjadi kesalahan besar jika masyarakat yang ikut vaksinasi Covid-19 melewatkan dosis kedua karena suntikan ini dapat menggandakan jumlah perlindungan. Pfizer dan BioNTech sendiri menegaskan agar masyarakat berhati-hati.
"Tidak ada data yang menunjukkan perlindungan setelah dosis pertama bertahan setelah 21 hari," ungkap dua produsen vaksin tersebut.
Selain itu, terdapat kemungkinan perlindungan yang tampaknya dimiliki orang akan tiba-tiba turun setelah vaksin. Ini tidak mengherankan karena hal tersebut didasari cara kerja sistem kekebalan penerima vaksin.
Memperkirakan secara andal berapa lama perlindungan dari satu dosis dapat bertahan semakin diperumit oleh fakta bahwa semua vaksin Covid-19 yang saat ini disetujui menggunakan teknologi baru.
Vaksin Oxford-AstraZeneca dan Sputnik-V sama-sama melibatkan versi modifikasi dari adenovirus, kelompok yang diduga dapat memecah menjadi berbagai jenis sel dan menyebabkan berbagai penyakit, seperti infeksi saluran pernapasan. Menurut BBC, vaksin versi Oxford dan AstraZeneca menggunakan adenovirus dari simpanse, sementara versi Rusia menyertakan campuran dua tipe manusia.
Virus tersebut telah diubah untuk vaksin sehingga aman dan tidak dapat membuat lebih banyak salinan virusnya ketika berada di dalam sel. Virus tersebut mampu mengajari tubuh untuk mengenali virus corona dengan menyandikan instruksi untuk membuat paku-paku protein, seperti yang ditemukan di permukaan virus corona.
Meskipun telah digunakan dalam vaksin kanker dan terapi gen selama bertahun-tahun, adenovirus hanya pernah digunakan sekali sebelumnya untuk mencegah infeksi virus, yakni pada vaksin Ebola, setelah disetujui untuk digunakan di Amerika Serikat pada Desember 2019.
Baca juga: Alasan Pasien Penyakit Jantung Tidak Boleh Disuntik Vaksin Covid-19