TEMPO.CO, Jakarta - Kehilangan kemampuan untuk mencium bau atau anosmia adalah salah satu gejala COVID-19. Apa yang bisa dilakukan untuk membantu mengembalikan indera penciuman?
"Yang paling baik rehabilitasi penciuman, misalnya mencium sesuatu seperti minyak kayu putih. Jadi kita rangsang saraf lagi, saraf-sarafnya untuk bisa beregenerasi supaya anosmianya menjadi perbaikan," ujar dokter spesialis paru Sylvia Sagita Siahaan.
Peneliti anosmia Eric Holbrook, yang juga direktur rinologi di Massachusetts Eye and Ear, mengatakan pasien dapat mencoba pelatihan aroma, yakni menemukan bau yang kuat dan menghirupnya sambil berfokus pada seperti apa aroma itu seharusnya. Beberapa penelitian menunjukkan orang-orang mengalami peningkatan kemampuan mencium dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah menjalani pelatihan penciuman.
"Tidak semua orang merespons hal yang sama. Ini sesuatu yang noninvasif dan mudah dilakukan dan disarankan," tutur Holbrook, seperti dikutip dari Prevention.
Pasien bisa mengumpulkan beberapa aroma yang kuat, misalnya kayu manis, mint, jeruk, wewangian mawar dan cengkih. Lalu tarik napas selama 10- 20 detik sambil memikirkan seperti apa aromanya.
Baca juga: Cara Memulihkan Anosmia Akibat Covid-19
Ahli otolaringologi di Rumah Sakit Mount Sinai New York, Alfred Iloreta, beberapa waktu lalu memulai uji klinis untuk melihat apakah mengonsumsi minyak ikan membantu memulihkan indera penciuman. Asam lemak omega-3 yang ditemukan dalam minyak ikan dapat melindungi sel saraf dari kerusakan lebih lanjut atau membantu meregenerasi pertumbuhan saraf.
"Jika tidak bisa membaui atau rasa, Anda akan kesulitan makan apa pun dan itu adalah masalah kualitas hidup yang sangat besar. Pasien dan orang yang saya kenal, yang kehilangan bau, benar-benar hancur karenanya," kata Iloreta, seperti dikutip dari The New York Times.
Studi dalam Journal of Internal Medicine pada Januari 2021 menemukan hampir 86 persen dari 2.581 pasien COVID-19 yang diteliti kehilangan membaui dan mengecap akibat virus corona. Dokter spesialis penyakit menular di Universitas Northeast Ohio, Richard Watkins, seperti dikutip dari Prevention, menjelaskan anosmia terjadi sebagai efek samping virus yang berkembang biak di hidung dan tenggorokan.
Virus dapat menyebabkan peradangan dan pembengkakan di saluran hidung sehingga menyebabkan hidung tersumbat, menurunkan kemampuan indera dalam prosesnya. Tetapi, mengapa gejala ini tak kunjung hilang pada beberapa orang belum sepenuhnya bisa dipahami para ahli.
"Reseptor virus telah ditemukan di lapisan khusus rongga hidung yang berisi saraf penciuman, yang pertama kali mendeteksi bau di udara. Meskipun reseptor ini belum ditemukan pada saraf itu sendiri, kerusakan di sekitarnya kemungkinan besar menyebabkan hilangnya bau," tutur Holbrook.
Anosmia biasanya akan membutuhkan waktu untuk hilang, bisa berbulan-bulan, dan umumnya berbeda-beda antarpasien. Para peneliti menemukan sekitar 15 persen pasien COVID-19 belum bisa memulihkan indera perasa dan penciuman 60 hari setelah terinfeksi, sementara hampir 5 persen berada dalam situasi yang sama hingga enam bulan kemudian.
Sylvia mengatakan para dokter yang menangani COVID-19 akan bekerja sama dengan spesialis THT dalam kasus anosmia. Penanganannya bisa tergantung derajat kerusakan saraf yang diakibatkan virus.
"Kami bekerja sama dengan dokter THT karena saluran napas atas memang dipegang THT juga. Biasanya memang tergantung derajat kerusakan karena yang dirusak sarafnya," katanya.