TEMPO.CO, Jakarta - Kasus baru Covid-19 masih tinggi. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Zubairi Djoerban menanggapi informasi yang beredar terkait dengan rencana penggunaan saliva direct test atau tes air liur untuk mengantikan metode swab test. Zubairi menilai tes air liur atau saliva ini layak menjadi standar penegakan diagnosis Covid-19 di Indonesia.
"Menurut saya layak dan bisa. Apalagi tes berbasis air liur ini telah mengantongi izin Badan Pengawas Obat dan Makanan di Amerika Serikat [FDA]," kata Zubairi di akun Twitter.
Menurutnya, swab test amat bergantung pada tenaga medis atau kesehatan untuk melakukannya. Bagi sejumlah orang, tes usap tidak nyaman karena membuat bersin dan batuk. Sementara itu, dengan tes saliva, tes Covid-19 tidak perlu langkah ekstraksi.
Baca juga: Heboh Swab Anal, Cek Kelebihan dan Kekurangannya
"Tetapi dapat diganti dengan penambahan enzim yang dipanaskan. Ekstraksi RNA ini butuh waktu yang agak lama," jelas Zubairi.
Selain itu, dia mengemukakan penambahan enzim dan pemanasan pada tes saliva relatif sebentar. Dari berbagai literatur, tes berbasis air liur ini dapat memeriksa 90 sampel dalam waktu kurang dari 3 jam.
"Tentunya hal ini amat membantu pekerjaan di lab karena akan lebih banyak hasil tes yang diperoleh," tambahnya.
Tes saliva juga memiliki tingkat akurasi 94 persen, sebanding dengan hasil tes berbasis usap nasofaring (NP). Dengan pengumpulan sampel yang sederhana, masyarakat dapat melakukan pengiriman sampel melalui kurir ke klinik atau rumah sakit sehingga tidak perlu datang ke lokasi pemeriksaan untuk swab test.