TEMPO.CO, Jakarta - Gaya hidup sehat yang sudah dikenal antara lain pola makan seimbang atau sesuai isi piringku seperti anjuran Kementerian Kesehatan, berolahraga rutin, beristirahat cukup, periksa kesehatan berkala, mengelola stres, mengenyahkan asap rokok, serta menerapkan perilaku hidup bersih sehat (PHBS). Kala pandemi COVID-19 melanda, pola hidup serupa tetap menjadi anjuran para pakar kesehatan, ditambah sejumlah hal yang kemudian disebut adaptasi kebiasaan baru.
Tujuan gaya hidup sehat pun kini menjadi lebih spesifik, yakni memutus rantai penularan penyakit akibat virus corona baru itu, yang pada akhirnya semua bisa hidup sehat. Perilaku masyarakat kini harus mengacu pada protokol kesehatan #pakaimasker, #cucitangan, dan #jagajarak, lalu ditambah 2M, yakni menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas sehingga menjadi 5M.
Ketua Umum Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) sekaligus epidemiolog Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, berpendapat perubahan perilaku bisa terjadi karena paksaan.
"Ini perubahan perilaku bisa karena koersif atau bersifat paksaan. Jadi, di mana saja kita berada, perilaku ini harus disesuaikan dengan kondisi yang memutus mata rantai penularan, mulai dari orang sehat, orang bergejala," ujarnya.
"Berapa lamanya (perilaku berubah) sangat tergantung dari kesadaran kita. Sekarang yang dibutuhkan sense of crisis seluruh warga karena tidak ada orang yang tak mengambil peran dalam pengendalian COVID-19. Lengah sedikit, kita yang terpapar," tambahnya.
Baca juga: Tingkatkan Imunitas, Mulai Gaya Hidup Sehat Berikut
Ketua Terpilih PB IDI sekaligus Ketua Tim Mitigasi COVID-19 PB IDI, Dr. Muhammad Adib Khumaidi, mengatakan kunci memutus mata rantai penularan COVID-19 tak lain perubahan perilaku dalam segala aktivitas kehidupan. Saat berada di tempat bekerja, misalnya, sudah ada panduan yang perlu dilakukan, mulai dari mencuci tangan, mengganti baju (khusus untuk di kantor), dan melipat pakaian yang dipakai dari rumah dengan lipatan dalam menjadi sisi luar lalu menyimpannya di dalam tas tertutup.
Mendinsifeksi meja kerja sebelum dan sesudah bekerja juga disarankan, mencuci tangan dengan air dan sabun, memakai masker medis, membuka jendela di pagi hari agar udara segar dan sinar matahari masuk, dan menghindari makan bersama.
Pada gilirannya, orang-orang perlu membiasakan diri membawa perlengkapan pribadi saat keluar rumah, antara lain masker kain dan medis, pelindung wajah, baju seragam, jilbab, kotak penyimpanan masker, alat salat, perlengkapan mandi, tas daur ulang untuk menyimpan baju, handrub saku, makanan minuman dengan peralatan pribadi.
Bukan hanya untuk diri sendiri, orang-orang termasuk para tenaga medis bisa mencoba menjadi panutan bagi lingkungannya, termasuk dalam urusan bersosialisasi.
"Minimal di lingkungan RT. Kalau saya salat di mushala, saya paling tidak harus menjaga jarak, harus ada maskernya, harus ada hand sanitizer, atau fasilitas cuci tangan. Kalau bisa menjadi panutan, maka kita akan mencoba untuk mengubah di mana kita berada," tutur Adib.
Belakangan, saat vaksin COVID-19 ditemukan, orang-orang diminta menjalani vaksinasi untuk menurunkan risiko terkena COVID-19, walau memang tak ada jaminan 100 persen. Lalu, sampai kapan kebiasaan baru ini diterapkan? Ridwan menyebut sampai terkendalinya COVID-19 atau kekebalan kelompok sudah terbangun.
"Kalau berbicara kekebalan kelompok, ini sifatnya jangka panjang, mungkin masih butuh dua tahun atau tiga tahun terbentuk karena kita membutuhkan 70-80 persen populasi harus terbentuk imun atau mendapatkan vaksinasi," katanya.