TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarif Ph.D mengatakan karantina dua kali masa inkubasi atau 28 hari jauh lebih efektif diterapkan dibanding karantina akhir pekan untuk mencegah penularan COVID-19.
"Karantina akhir pekan itu tidak akan efektif," katanya.
Secara epidemiologi, penerapan karantina wilayah akan jauh lebih efektif selama 28 hari. Artinya, selama dua kali masa inkubasi tersebut orang-orang yang terinfeksi bisa sembuh, yang tentunya juga dibantu pengobatan. Namun, jika pemerintah hanya menerapkan karantina akhir pekan saja maka pencegahan COVID-19 tidak akan berhasil.
"Kalau karantinanya cuma setiap minggu itu sama saja omong kosong," tegasnya.
Bahkan, langkah itu dinilainya hanya akan semakin mempersulit ekonomi masyarakat kalangan menengah ke bawah. Meskipun demikian, ia meragukan kebijakan itu bisa diterapkan sebab karantina dua kali masa inkubasi butuh persiapan dan akan memakan anggaran yang besar. Apalagi, selama 28 hari tersebut akan berdampak luas bagi sektor-sektor perekonomian di Tanah Air.
"Jadi, itu kalau mampu sebab dampak ekonominya akan besar," kata Syahrizal.
Baca juga: Jenis Barang yang Perlu Dibawa Pasien Covid-19 untuk Karantina di RS
Namun, bila pemerintah tidak siap untuk menerapkan karantina 28 hari maka penerapan protokol kesehatan 3M, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan pakai sabun wajib terus dipatuhi. Bahkan, jika perlu masyarakat yang terbukti melanggar protokol kesehatan harus didenda lebih besar agar memberikan efek jera.
Secara pribadi, selama ini ia menilai pemerintah belum cukup tegas dalam penegakan aturan kepada pelanggar protokol kesehatan. Sebagai contoh, masih banyak ditemukan restoran yang tidak patuh protokol kesehatan.
"Contohnya masih banyak restoran yang satu meja diisi enam orang, padahal saat makan orang tidak pakai masker," tuturnya.
Terakhir, ia mendorong pemerintah agar terus memperbaiki penelusuran orang-orang yang kontak erat dengan pasien COVID-19. Hal itu dapat pula dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Selain itu, untuk membantu percepatan penelusuran disarankan agar pemerintah memberdayakan atau merekrut mahasiswa ilmu kesehatan supaya pekerjaan di lapangan lebih cepat.