TEMPO.CO, Jakarta - Psikiater dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ mengatakan penyintas COVID-19 bisa mengalami distorsi atau gangguan psikologis akibat infeksi COVID-19 yang pernah dialami.
"Jadi, memang pada pasien COVID-19 itu bisa dipastikan ada distorsi psikologis yang dialami," kata Nova, yang juga merupakan Secretary General-Asian Federation of Psychiatric Asociations, dalam konferensi pers Satgas Penanganan COVID-19 secara virtual dari Graha BNPB di Jakarta, Rabu, 17 Februari 2021.
Nova mengatakan fakta tersebut dapat dibuktikan dari beberapa penelitian, baik di dalam maupun luar negeri. Salah satunya yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, yang melakukan swaperiksa secara random, baik terhadap orang-orang yang telah terinfeksi maupun yang belum terinfeksi COVID-19.
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap sekitar 4.010 orang tersebut menunjukkan 64,8 persen di antaranya mengalami masalah psikologis, 65 persen mengalami cemas, dan 62 persen mengalami depresi. Untuk menyorot lebih jelas gangguan psikologis yang dialami penyintas COVID-19, Nova menunjukkan penelitian lain dari asesmen secara daring yang dilakukan di Cina terhadap 730 pasien COVID-19 di sebuah rumah sakit. Hasil asesmen tersebut menunjukkan prevalensi gejala-gejala stres pascatrauma yang berhubungan dengan COVID-19 mencapai 96,2 persen.
Baca juga: Syarat Vaksinasi Covid-19 bagi Penyintas dan Pemilik Komorbid
Sementara penelitian lain di Daegu, Korea Selatan, yang dilakukan dengan wawancara via telepon terhadap sekitar 64 penyintas COVID-19 menunjukkan 20,3 persen di antaranya mengalami gangguan stres pascatrauma atau PTSD.
"Kalau PTSD berbeda karena durasinya harus minimal 1 bulan. Jadi, berbeda dengan reaksi stres akut, yang mana ini hanya terjadi antara 3 harian," jelasnya.
Dari beberapa penelitian tersebut, Nova mengatakan penyintas COVID-19 memang memiliki kecenderungan yang sangat tinggi untuk mengalami gangguan psikologis akibat peristiwa traumatis yang pernah dialami akibat COVID-19.
"Stres ini kemudian dipersepsikan sebagai apa dan bagaimana emotional reaction-nya. Ternyata, tadi ada yang menyalahkan diri sendiri dan sebagainya. Sedangkan ini akan berpengaruh lagi ke bagaimana penyintas melakukan manajemen stres," ujarnya.
Untuk mengatasi hal tersebut memang harus ada kemampuan dari penyintas untuk bisa menghadapi masalah dan kemampuan itu perlu dukungan semangat dari keluarga dan lingkungan sekitar.
Jadi harus ada dukungan yang sebaiknya bisa diberikan sesegera mungkin," ujar Nova.
Dukungan keluarga dan bantuan psikologi itu diharapkan bisa memberikan resiliensi atau kemampuan bagi penyintas untuk bisa bertahan walaupun dihadapkan pada stres akibat peristiwa besar dalam hidup, salah satunya karena terinfeksi COVID-19.