TEMPO.CO, Jakarta - Berbagai alasan dan keperluan membuat orang harus menjalani tes Covid-19, mulai dari alasan substansial sampai tes atas kehendak pribadi. Tapi, apakah kita memahami macam tes ini?
Edukator dan praktisi kesehatan Adaninggar mengatakan banyak masyarakat yang percaya penuh pada hasil tes Covid-19 tanpa disertai pemahaman tentang tes itu sendiri. Melalui unggahan di instagram miliknya, ia memaparkan beberapa kesalahan dalam pemahaman tes Covid yang seringkali berulang.
PCR untuk evaluasi kesembuhan
PCR tidak bisa membedakan materi genetik dari virus yang masih aktif atau tidak (bangkai virus) sehingga PCR dikatakan terlalu sensitif sebagai evaluasi kesembuhan.
Tes antigen untuk evaluasi kesembuhan
Tes antigen hanya mendeteksi sebagian infeksi pada masa menular sehingga jika pemeriksaan yang dilakukan terlalu dini bisa membuat hasil negatif yang tidak akurat dan berbahaya bila dijadikan patokan memperpendek masa isolasi atau karantina.
Baca juga: 4 Gejala Covid-19 yang Mungkin Tidak Anda Sadari
Tes antibodi untuk skrining
Tes ini digunakan untuk menyaring sebanyak mungkin orang yang sedang sakit kronis dan segera diisolasi untuk mengurangi risiko penularan. Antibodi akan terbentuk setelah 3-7 hari jika tes antibodi di fase awal masih nonreaktif tetapi sedang fase akut dan menular. Kesalahannya, non reaktif dianggap sedang tidak terinfeksi kemudian tidak isolasi, begitu pun reaktif dianggap sakit padahal antibodi bisa bertahan hingga delapan bulan, akhirnya mengisolasi orang yang sudah sembuh.
Tes cepat antigen untuk memperpendek masa isolasi atau karantina
Hasil tes PCR atau tes cepat antigen yang negatif selama masih di dalam rentang masa inkubasi dan masa menular bisa saja merupakan hasil negatif yang keliru. Untuk itu, lebih aman tetap menyelesaikan masa karantina dan isolasi.
Tes Covid sebagai syarat bepergian/mengadakan kegiatan berisiko
Semua tes Covid-19 berlaku real time. Hasil mencerminkan kondisi saat pengambilan sampel. Walaupun hasil tes negatif belum bisa dipastikan 100 persen tidak terinfeksi dan tidak menjamin detik berikutnya tidak terinfeksi jika terpapar. Adaninggar pun mengatakan masyarakat awam juga perlu belajar supaya tidak terjebak dalam logika sendiri dan ketakutan yang berlebihan, yang akhirnya menjadi sumber stigma negatif.
“Pertanyaan tersering itu soal menggunakan tes yang mana untuk evaluasi kesembuhan. Tidak ada. Justru evaluasinya dengan melihat gejala dan kondisi peradangan di paru-paru dan tubuh”, tulisnya.