TEMPO.CO, Jakarta - Proses mencapai berat badan ideal tidak mudah, terutama karena pola makan dan gaya hidup masa kini yang cenderung membuat asupan energi jauh di atas kebutuhan harian sehingga secara perlahan berat badan terus bertambah hingga akhirnya berada pada kondisi yang menimbulkan berbagai macam gejala yang menurunkan kualitas hidup.
Menurut Tony Arjuna, Ketua Program Studi Dietisien FK-KMK Universitas Gajah Mada, proses kenaikan berat badan biasanya terjadi perlahan dan dalam waktu bulanan, bahkan tahunan, karena tubuh secara alami tidak mungkin menumpuk massa lemak berlebih dengan cepat. Namun, prinsip utama ini sering dilupakan orang yang ingin menurunkan berat badan, yaitu defisit energi, sehingga berbagai macam metode yang menawarkan penurunan berat badan instan dan banyak selalu menjadi pilihan.
Menurut Tony, proses instan tersebut, apapun bentuknya, selalu membawa risiko besar yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan jangka panjang. Khusus untuk metode penurunan berat badan instan dengan fad diet atau crash diet yang populer di masyarakat, salah satu ciri utamanya adalah pola makan yang dilakukan mengandung energi yang relatif rendah dan mengekslusi makanan atau kelompok makanan tertentu.
Jika eksklusi dilakukan pada kelompok makanan yang esensial, maka kemungkinan akan terjadi defisiensi zat gizi yang signifikan dalam waktu yang relatif singkat. Jadi, jangan asal diet untuk menurunkan berat badan.
Baca juga: Hati-hati, Diet Ekstrem Berbahaya bagi Empedu. Cek Sebabnya
Saat ini banyak kekhawatiran keberadaan informasi dari figur publik atau influencer yang tidak sesuai teori dan bukti ilmiah serta regulasi tentang anjuran mengonsumsi sayur akan mengubah persepsi masyarakat terhadap program pemerintah dalam meningkatkan konsumsi sayur masyarakat. Faktanya, memang tidak ada satu cara atau diet yang paling sehat untuk semua orang.
Diet atau pola makan atau pola hidup sehat untuk pengendalian lemak tubuh orang yang obesitas bersifat unik atau personalized karena potensi keunikan atau pembeda seseorang dengan orang lain dalam responsnya terhadap diet. Faktor yang mempengaruhi kelebihan lemak tubuh atau obesitas itu kompleks dan tidak hanya soal diet, olahraga dan tidur, serta pengelolaannya.
Masih ada faktor lain seperti genetik, kondisi awal komposisi tubuh, kondisi masa lalu, misalnya pernah stunting atau obesitas, stres, keseimbangan hormon, enzim, fisiologi, inflamasi, probiotik, jenis kelamin, umur, polusi atau toksik, lingkungan, penyakit penyerta, dan lain-lain beserta interaksinya dalam merespons dan direspons oleh makanan dan zat didalamnya.
Misalnya saja diet sangat rendah energi (SRE) belum tentu cocok bagi semua orang obesitas. Juga belum tentu semua orang obesitas punya kemampuan yang sama dalam ketahanan merespons keluhan atau efek samping yang dihadapi dalam program diet SRE, seperti lapar, pusing, mual, lemas, sembelit, kram, dan potensi risiko terjadinya batu empedu dan rambut gampang rontok setelah enam bulan.
Studi meta-analisis menunjukkan efek sindrom yoyo setelah sekian tahun dari diet SRE tidak berbeda dengan efek diet rendah energi. Jika orang yang obesitas perlu mengikuti diet SRE, maka akan perlu asesmen persyaratan tertentu dan di bawah pengawasan tenaga profesional agar minim risiko.
Di Amerika Serikat, diet SRE tidak diperkenankan bagi anak dan remaja, ibu hamil, menyusui, dan punya penyakit serius seperti kanker, gagal ginjal, jantung koroner, stroke, dan gangguan psikologis serius, hanya diperbolehkan bagi orang obesitas dengan kriteria tertentu, misalnya indeks massa tubuh lebih dari 30, kelebihan berat badan minimal 30 persen, atau pertimbangan lain.
Calon klien juga harus bersedia bekerja sama dengan dokter, pakar diet, nutrisionis olahraga, dan bila perlu psikolog. Selain juga perlu diases dan diagnosis, mencakup aspek medik, gizi, olahraga, dan psikososial yang penting untuk pengaturan gaya hidup secara holistik, agar tidak terjadi sindrom yoyo demi mencapai berat badan ideal.