TEMPO.CO, Jakarta - Pakar tidur dokter Andreas Prasadja, RPSGT dari Snoring and Sleep Disorder Clinic di RS Mitra Kemayoran Jakarta mengungkap bahwa sejumlah pasiennya mengalami masalah tidur sejak pandemi COVID-19 dimulai di Indonesia. "Telah terjadi perubahan komposisi masalah tidur pada pasien saya. Sebelum pandemi, 50 persen pasien yang datang ke saya mengalami insomnia, sementara 50 persen lagi sleep apnea. Sekarang, 70 persen pasien saya adalah pasien insomnia dan 30 persen sleep apnea," kata Andreas dalam siaran pers, Kamis 18 Maret 2021.
Baca: Antara Tidur Berkualitas dan Gangguan Tidur, Simak Penjelasan Pakar
Ada beberapa dampak buruk bagi orang yang mengalami masalah tidur. Kurang tidur dapat mengakibatkan produksi hormon stres meningkat, sehingga melemahkan sistem imun tubuh. "Selain itu, bisa juga menyebabkan pembengkakan pada tubuh. Karenanya, mendapatkan tidur berkualitas menjadi lebih penting lagi di tengah pandemi ini," kata Andreas.
Menurut hasil studi tidur global Philips 2021 yang dirilis dalam rangka World Sleep Day 2021, masyarakat di kawasan Asia-Pasifik dan di seluruh dunia, mengalami setidaknya satu atau lebih tantangan tidur sejak awal mula COVID-19, dengan hampir dua pertiga (62 persen) responden menyatakan pandemi telah berdampak secara langsung terhadap kemampuan mereka untuk tidur nyenyak.
Seperti ketakutan dan kekhawatiran dalam situasi krisis umumnya, pandemi ini telah memperburuk masalah tidur masyarakat dunia. Hampir setahun setelah COVID-19 merebak, masyarakat di Asia Pasifik melaporkan bahwa mereka tidur lebih banyak, dengan rata-rata 7,2 jam per malam (dibandingkan 7,1 jam pada studi di 2020). Sayang data itu juga menyebutkan bahwa mereka merasa tidak puas dengan tidur mereka.
"Bagi setengah dari responden survei di Asia Pasifik, pola tidur mereka telah berubah Ketika pandemi melanda – hampir seperempat (22 persen) menyatakan bahwa waktu tidur malam mereka berkurang setiap malam, dengan hanya 35 persen mengaku merasa cukup istirahat ketika bangun pagi, dan 44 persen mengalami kantuk di siang hari," kata Pim Preesman, Presiden Direktur Philips Indonesia.
Mendapatkan tidur yang nyenyak hingga pagi merupakan tantangan bagi banyak orang. Responden studi mengalami kesulitan seperti terbangun di tengah malam (42 persen), kesulitan tertidur (33 persen), dan sulit untuk tetap tertidur (26 persen).
Kekhawatiran dan stres menjadi alasan utama mengapa orang dewasa di Asia Pasifik kurang tidur (21 persen), disusul oleh penggunaan gawai seperti ponsel dan tablet (17 persen) serta lingkungan tidur (16 persen).
Ada beberapa alasan masyarakat di kawasan Asia-Pasifik lebih lama terjaga. Salah satu alasan paling umum adalah karena mereka khawatir atau mengalami stres. Sebanyak 54 persen dari responden mengatakan mereka khawatir karena masalah finansial. 52 responden menjawab mereka stres karena tanggung jawab pekerjaan. Lalu 38 persen responden menjawab mereka mengkhawatirkan soal kesehatan diri dan keluarga. Selanjutnya, 34 persen orang juga stres karena kondisi keluarga secara umum. Lalu ada 43 persen responden lagi merasa khawatir dengan pandemi COVID-19 yang masih berlanjut.