TEMPO.CO, Jakarta - Masalah jantung bisa menjadi efek patah hati atau putus cinta dan seringkali disebabkan oleh situasi stres dan emosi yang ekstrem. Kondisi tersebut juga dapat memicu penyakit fisik yang serius, bisa disebut kardiomiopati stres, kardiomiopati takotsubo, atau sindrom balon apikal.
Dilansir dari Mayo Clinic, orang dengan sindrom patah hati mungkin mengalami nyeri dada mendadak atau mengira mengalami serangan jantung. Sindrom patah hati hanya mempengaruhi sebagian jantung, yang untuk sementara mengganggu fungsi pemompaan normal.
Bagian jantung lain terus berfungsi normal atau bahkan mungkin mengalami kontraksi lebih kuat. Gejala sindrom patah hati dapat diobati dan kondisi biasanya membaik dalam beberapa hari atau minggu, bisa menyerupai serangan jantung.
Gejala umum termasuk nyeri dada dan sesak napas. Nyeri dada yang berlangsung lama atau terus-menerus bisa menjadi tanda serangan jantung. Jadi, penting untuk menanggapinya dengan serius dan menghubungi dokter. Jika mengalami nyeri dada, detak jantung yang sangat cepat atau tidak teratur, atau sesak napas setelah kejadian yang membuat stres, segera hubungi layanan medis darurat.
Penyebab pasti sindrom patah hati masih belum jelas. Diperkirakan lonjakan hormon stres, seperti adrenalin, dapat merusak jantung untuk sementara waktu. Bagaimana hormon-hormon ini dapat melukai jantung atau apakah ada hal lain yang bertanggung jawab masih belum jelas.
Baca Juga:
Baca juga: Sulit Lupakan Mantan Kekasih usai Putus Cinta, Coba Kiat Berikut
Penyempitan sementara arteri besar atau kecil jantung diduga berperan. Orang yang mengalami sindrom patah hati mungkin juga memiliki perbedaan dalam struktur otot jantung. Sindroma patah hati seringkali didahului oleh peristiwa fisik atau emosional yang intens. Beberapa pemicu potensial sindrom patah hati adalah:
-Kematian orang yang dicintai atau juga putus cinta.
-Diagnosis medis yang menakutkan.
-Kekerasan dalam rumah tangga.
-Kehilangan atau bahkan menang lotere.
-Pertengkaran hebat
-Kejutan
-Berbicara di depan umum
-Kehilangan pekerjaan atau kesulitan keuangan.
-Perceraian
-Stres fisik, seperti serangan asma, infeksi COVID-19, patah tulang, atau operasi besar.
Ada juga kemungkinan beberapa obat, meski jarang, dapat menyebabkan sindrom patah hati dengan menyebabkan lonjakan hormon stres. Obat-obatan yang dapat menyebabkan sindrom patah hati meliputi:
-Epinefrin (EpiPen, EpiPen Jr.), yang digunakan untuk mengobati reaksi alergi yang parah atau serangan asma yang parah.
-Duloxetine (Cymbalta), obat yang diberikan untuk mengobati masalah saraf pada penderita diabetes atau sebagai pengobatan untuk depresi.
-Venlafaxine (Effexor XR), pengobatan untuk depresi Levothyroxine (Synthroid, Levoxyl), obat yang diberikan kepada orang yang kelenjar tiroidnya tidak berfungsi dengan baik.
-Stimulan yang tidak diresepkan atau ilegal, seperti metamfetamin dan kokain.
Apa perbedaan sindrom patah hati dengan serangan jantung? Serangan jantung umumnya disebabkan oleh penyumbatan arteri jantung yang lengkap atau hampir seluruhnya. Penyumbatan ini disebabkan oleh pembentukan gumpalan darah di lokasi penyempitan akibat penumpukan lemak (aterosklerosis) di dinding arteri.
Pada sindrom patah hati, arteri jantung tidak tersumbat meski aliran darah di arteri jantung bisa jadi berkurang. Ada sejumlah faktor risiko yang diketahui terkait sindrom patah hati, termasuk:
-Seks. Kondisi ini lebih sering mempengaruhi wanita daripada pria.
-Usia. Tampaknya kebanyakan orang yang mengalami sindrom patah hati berusia lebih dari 50 tahun.
-Riwayat kondisi neurologis. Orang yang memiliki kelainan saraf, seperti cedera kepala atau gangguan kejang (epilepsi) memiliki risiko lebih besar mengalami sindrom patah hati.
-Gangguan kejiwaan sebelumnya atau saat ini. Jika pernah mengalami gangguan seperti kecemasan atau depresi, Anda mungkin memiliki risiko lebih tinggi mengalami sindrom patah hati.
Dalam kasus yang jarang terjadi, sindrom patah hati berakibat fatal. Namun, kebanyakan orang yang mengalami cepat sembuh dan tidak memiliki efek jangka panjang. Komplikasi lain dari sindrom patah hati termasuk:
-Cadangan cairan masuk ke paru-paru (edema paru).
-Tekanan darah rendah (hipotensi)
-Gangguan detak jantung.
-Gagal jantung
Mungkin juga Anda mengalami sindrom patah hati lagi jika mengalami peristiwa stres lain. Namun, kemungkinan hal ini terjadi rendah. Sindroma patah hati terkadang terjadi lagi meski kebanyakan orang tidak akan mengalami kejadian kedua.
Banyak dokter merekomendasikan pengobatan jangka panjang dengan beta blocker atau obat serupa yang memblokir efek hormon stres yang berpotensi merusak jantung. Mengenali dan mengelola stres dalam hidup juga dapat membantu mencegah sindrom patah hati, meski saat ini tidak ada bukti kuat.