TEMPO.CO, Jakarta - Kemarahan, kecemasan, kesedihan, kegembiraan adalah perasaan yang memiliki hubungan yang erat dengan usus. Dan saluran pencernaan peka terhadap emosi manusia. Stres dapat menyebabkan banyak gejala gastrointestinal seperti nafsu makan menurun, mual, muntah, bersendawa, perut kembung, sembelit, diare, sakit perut, dan makan berlebihan.
Hal tersebut menunjukkan otak dan saluran pencernaan saling berkomunikasi dan hubungan miliki hubungan yang akrab. Stres dikaitkan dengan perubahan bakteri usus yang dapat mempengaruhi suasana hati. Dengan demikian, emosi dapat mempengaruhi fungsi usus. Konsultan Senior-Gastroenterologi dari Rumah Sakit Fortis di Mulund, Dr. Nutan Desai, mengatakan otak dan saluran pencernaan saling terhubung erat.
"Usus memiliki ratusan juta neuron atau sel saraf yang dapat berfungsi secara mandiri dan terus berkomunikasi dengan otak," kata Desai.
Alhasil, stres pun dapat mempengaruhi komunikasi antara otak dan usus sehingga dapat memicu rasa sakit, kembung, dan ketidaknyamanan usus. Stres jangka panjang dapat menyebabkan sembelit, diare, atau sakit perut. Berdasarkan pemaparan dari Desai, berikut fakta mengenai hubungan yang erat antara usus dan otak.
Mempengaruhi sistem saraf
Stres dapat pengaruhi perkembangan sistem saraf bagaimana tubuh bereaksi. Perubahan ini dapat meningkatkan risiko penyakit usus atau disfungsi di kemudian hari. Misalnya, merasa mual sebelum memberikan presentasi atau merasakan sakit usus saat stres. Meningkatnya gangguan usus karena stres dapat membuat diare atau dorongan berulang kali untuk buang air kecil selama atau setelah peristiwa yang membuat tertekan.
Masalah sistem pencernaan
Stres dapat menunda pengosongan isi perut dengan mempercepat perjalanan materi melalui usus. Kombinasi aktivitas ini menyebabkan sakit perut dan kebiasaan buang air besar yang berubah. Selain itu, stres psikologis akut menurunkan ambang nyeri seseorang. Orang sehat biasanya melaporkan mengalami ketidaknyamanan perut atau perubahan fungsi usus saat kesal atau tertekan. Ekspresi yang digunakan untuk mengamankan situasi tersebut adalah ketidaknyamanan perut.
Mengacaukan nafsu makan
Ketika stres, orang mungkin makan lebih banyak atau sedikit dari biasanya. Makan lebih banyak atau peningkatan konsumsi alkohol atau tembakau dapat menyebabkan mulas atau refluks asam. Pola makan yang tidak sehat dapat merusak suasana hati.
Kejang
Kasus kejang jarang terjadi namun tetap ada yang mengalami. Kejang dapat dipicu stres yang intens dan dengan mudah disalahartikan sebagai serangan jantung.
Masalah serius di perut
Stres dapat meningkatkan jumlah udara yang tertelan, yang meningkatkan sendawa, perut kembung, dan kentut. Bahkan, banyak penelitian menunjukkan peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dikaitkan dengan timbulnya gejala dalam beberapa kondisi pencernaan, seperti radang usus, sindrom pencernaan, naiknya asam lambung, dan ulkus peptikum. Kesimpulannya, gangguan pencernaan fungsional atau FGID yang membentuk 40 persen kasus gastrointestinal diperburuk oleh stres.
Baca juga: 5 Kiat Atasi Perut Kembung